Selasa, 20 November 2007

perkembangan anak

Tahap-tahap perkembangan kognitif
Artikel utama: Teori perkembangan kognitif

Piaget menjabat sebagai profesor psikologi di Universitas Geneva dari 1929 hingga 1975 dan ia paling terkenal karena menyusun kembali teori is perkembangan kognitif ke dalam serangkaian tahap, memperluas karya sebelumnya dari James Mark Baldwin, menjadi empat tahap perkembangan yang lebih kurang sama dengan (1) masa infancy, (2) pra-sekolah, (3) anak-anak, dan (4) remaja. Masing-masing tahap ini dicirikan oleh struktur kognitif umum yang mempengaruhi semua pemikiran si anak (suatu pandangan strukturalis yang dipengaruhi oleh filsuf Immanuel Kant). Masing-masing tahap mewakili pemahaman sang anak tentang realitas pada masa itu, dan masing-masing kecuali yang terakhir adalah suatu perkiraan (approximation) tentang realitas yang tidak memadai. Jadi, perkembangan dari satu tahap ke tahap yang lainnya disebabkan oleh akumulasi kesalahan di dalam pemahaman sang anak tentang lingkungan nya; akumulasi ini pada akhirnya menyebabkan suatu tingkat ketidakseimbangan kognitif yang perlu ditata ulang oleh struktur pemikiran.

Keempat tahap perkembangan itu digambarkan dalam teori Piaget sebagai
Tahap sensorimotor: dari lahir hingga 2 tahun (anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi obyek)
Tahap pra-operasional: dari 2 hingga 7 tahun (mulai memiliki kecakapan motorik)
Tahap operasional konkret: dari 7 hingga 11 tahun (anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian konkret)
Tahap operasional formal: setelah usia 11 tahun (perkembangan penalaran abstrak).
KK07 Pendidikan Anak Seksualitas


PENGANTAR



Orangtua merupakan pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak mereka. Para guru, umat seiman, maupun tokoh-tokoh masyarakat yang lain memang ikut mendidik anak-anak mereka, namun sumbangan para pendidik di luar rumah itu hanyalah bersifat melengkapi, tidak menggantikan pendidikan oleh orangtua di rumah.


Pendidikan bagi anak-anak itu meliputi berbagai segi. Salah satu segi yang penting diperhatikan adalah segi seksual. Orangtua diharap mau dan mampu memberikan pendidikan di bidang seksual bagi anak-anak mereka, di rumah sendiri. Penjelasan guru biologi di sekolah maupun pelajaran agama di lingkungan Gereja hanyalah bersifat melengkapi, tidak bisa menggantikan pendampingan oleh orangtua.


Buku kecil ini kami terbitkan bagi para orang tua katolik, untuk membantu mereka dalam melaksanakan salah satu dari tugas-tugas mulia mereka, yakni tugas mendidik anak-anak di bidang seksual.


Bagian I mengutarakan prinsip-prinsip pendidikan moral katolik. Bagian II membahas seksualitas pada segi biologisnya. Bagian III membahas seksualitas pada segi psikisnya. Bagian IV membahas seksualitas pada segi moralnya.


Semoga tulisan sederhana ini berguna bagi para orang tua katolik, terutama dalam memberikan pendidikan di bidang seksual bagi anak-anak mereka, di rumah.


Penerbit



I. PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN KATOLIK


Dalam mendidik anak-anak mereka di rumah, orang tua katolik diharap memperhatikan prinsip-prinsip berikut :


1. Tujuan pendidikan adalah berkembangnya orang-orang muda menuju kedewasaan sedemikian rupa sehingga akhirnya mereka menjadi orang-orang dewasa yang manusiawi dan kristiani.

2. Proses pendidikan berlangsung selama bertahun-tahun, sekurang-kurangnya sejak lahir sampai usia sekitar 21 tahun. Maka dalam proses pendidikan itu perlu ada ketekunan, ketelitian, kesabaran, kesinambungan, dan kebijaksanaan.

3. Peran pendidik adalah sebagai fasilitator dan animator, yang memberi fasilitas dan semangat. Maka pendidikan hendaknya bersifat demokratis, diwarnai oleh dialog, yang terjadi dalam semangat hormat dan kasih. Orang-orang muda jangan dipandang dan diperlakukan sebagai robot, yang boleh di-dikte atau bahkan “di-cetak” menurut kemauan orang tua.

4. Kepribadian setiap manusia itu unik dan rumit. Maka para pendidik hendaknya menyadari dan menghargai keunikan orang-orang muda yang mereka didik. Selain itu, pendidikan hendaknya bersifat “multi-dimensional”, memperhatikan dan mengembangkan berbagai segi dari kepribadian orang-orang muda itu.

5. Selama hidup mereka, orang-orang muda tidak hanya dipengaruhi oleh orang tua mereka, melainkan juga oleh guru-guru di sekolah, teman-teman sebaya, lingkungan masyarakat, serta media massa. Maka orang tua diharap mampu “bersaing” dengan lingkungan hidup di luar rumah. Orang tua diharap memanfaatkan pengaruh-pengaruh positifnya sambil bersikap kritis dan waspada terhadap pengaruh-pengaruh negatifnya.



II. SEGI BIOLOGIS DALAM SEKSUALITAS



A. Pendahuluan


Pendidikan dalam bidang seksual terdiri dari segi biologis, segi psikis, dan segi moral. Secara singkat, berikut adalah beberapa butir penting tentang pendidikan seksual dari segi biologis :


· Sejak awal, manusia dilengkapi oleh Allah dengan berbagai organ, termasuk organ seksual, agar dapat hidup wajar dan melestarikan keberadaan manusia di bumi ini.

· Jenis-kelamin manusia terutama tampak dari organ seksualnya. Namun organ seksual itu hanyalah sebagian kecil dari seksualitas, yang menjadikan seseorang itu seorang pria atau seorang wanita.

· Perbedaan jenis-kelamin sudah ada sejak awal kehidupan setiap manusia. Sembilan bulan sebelum lahir pun, sel pertama seorang manusia baru sudah punya jenis-kelamin yang jelas (laki-laki atau perempuan) meskipun organ seksualnya samasekali belum kelihatan.

· Pendidikan seksual perlu dilakukan oleh orangtua pada anak-anak di rumah sejak usia pra-sekolah. Pengajaran tentang cara-cara menjaga kebersihan anggota tubuh, misalnya, merupakan bentuk-bentuk konkrit dari pendidikan seksual.

· Kehidupan seksual pada masa bayi dan masa kanak-kanak merupakan landasan atau fundamen kehidupan seksual pada masa dewasa. Peristiwa-peristiwa yang mengganggu perkembangan seksual pada masa-masa awal itu dapat menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan seksual pada masa-masa selanjutnya.

· Sikap positif orang tua dalam masa perkembangan seksual anak-anak sangatlah perlu dan bermanfaat. Orang tua diharapkan membimbing anak-anak mereka, agar anak-anak itu dapat berkembang sesuai identitas seksual masing-masing.

· Orang tua dapat memberikan penjelasan tentang seks dengan menggunakan berbagai strategi, misalnya menunggu sampai anak-anak melontarkan pertanyaan. Jawaban orangtua atas pertanyaan mereka sebaiknya selalu sesuai dengan tingkat pemahaman anak-anak. Sejauh perlu, sebaiknya digunakan buku pedoman yang baik dalam memberikan penjelasan kepada anak-anak.

· Ketika masih sangat muda, anak-anak belum menyadari kekhasan seks maupun seksualitas mereka secara lengkap. Kesadaran akan kekhasan seks dan seksualitas mereka barulah semakin lengkap saat mereka mencapai tahap usia akil balik.



B. Tumbuh Kembang pada Masa Kanak-Kanak


Pendidikan seksual bagi anak-anak sebaiknya dilaksanakan dengan cara dan dalam bentuk yang sesuai dengan tahap-tahap tumbuh kembang mereka masing-masing. Tentang hal itu, berikut adalah hal-hal yang kiranya pantas diperhatikan oleh semua orangtua :


· Proses tumbuh kembang, baik pada anak-anak laki-laki maupun pada anak-anak perempuan, terjadi melalui beberapa tahapan. Orang tua perlu memahami tahapan-tahapan tumbuh kembang anak-anak mereka dan memberikan informasi yang benar perihal seksualitas kepada anak-anak mereka.

· Penjelasan dapat diberikan pada saat anak-anak mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar tubuhnya atau tubuh orang lain. Kelengkapan jawaban orang tua disesuaikan dengan rasa ingin-tahu serta tingkat pemahaman masing-masing anak. Anak yang berusia 3 atau 4 tahun, misalnya, biasanya mulai menyadari perbedaan antara alat kelamin yang dimilikinya dan alat kelamin teman-temannya.

· Identitas dan peran seksual juga perlu ditanamkan pada anak-anak Untuk itu, orang tua diharap memperkenalkan masing-masing jenis-kelamin dan peran khas yang menyertainya. Apabila diperlukan, orang tua dapat mempergunakan buku-buku cerita yang memuat peran ayah, peran ibu, serta hubungannya dengan anak-anak.

· Kepada anak-anak menjelang usia remaja, hal-hal yang perlu diinformasikan meliputi hal-hal tentang : organ reproduksi, kehamilan, tingkah laku seksual, alat kontrasepsi, kesuburan, menopause serta penyakit menular seksual.



C. Perkembangan Seksual Pada Masa Remaja


Perkembangan seksual remaja terdiri dari perkembangan fisik dan perkembangan psikis. Berikut adalah keterangan tentang perkembangan fisiknya :

Perkembangan fisik pada remaja putra dan remaja putri dipengaruhi oleh hormon-hormon seksual (yang disebut : testosteron, estrogen dan progesteron).
Perkembangan fisik pada remaja putri ditandai oleh bertambah besarnya payudara, tumbuhnya rambut di bagian pubis di sekitar kelamin, dan terjadinya menstruasi. Kecuali itu, pada dirinya juga bisa terjadi perubahan suara dan pelebaran panggul.
Perkembangan fisik pada remaja putra ditandai oleh bertambah besarnya buah pelir dan penis, tumbuhnya kumis dan bulu ketiak, serta membesarnya jenis-suara. Kecuali itu, secara berkala ia juga mengalami “mimpi basah” (yang disebut: nocturnal ejaculation).



D. Organ Reproduksi


Yang dimaksud dengan reproduksi ialah proses penerusan generasi manusia, yakni melalui keturunan. Maka, yang dimaksud dengan organ reproduksi ialah organ tubuh yang berfungsi untuk reproduksi manusia. Organ reproduksi pada pria sangatlah berbeda dari organ reproduksi pada wanita.


Organ Reproduksi Pria terdiri dari :


· Penis, yang tersusun dari jaringan yang penuh dengan rongga-rongga kecil. Bila tidak terangsang, bentuk penis itu kecil, lunak, dan bergantung lemas. Namun bila ia ter-rangsang, ia bisa membesar, keras dan tegak (ereksi). Penis itu terdiri atas kepala penis dan batang penis.

· Skrotum (kantong buah pelir) dan 2 (dua) buah testis (buah pelir). Testis mampu memproduksi sel mani dan menghasilkan hormon testosteron, yang berperan penting pada perkembangan “alat kelamin sekunder” pria.

· Epididymis, yang merupakan tempat pematangan sel mani.

· Vas deferens, yakni saluran sel-sel mani saat berjalan menuju ke vesicula seminalis.

· Vesicula seminalis (kantung mani).

· Prostat, yang mampu men-sekresi cairan alkali, sehingga dapat meningkatkan tingkat pergerakan sel mani.


Organ Reproduksi Wanita terdiri dari :


Alat Kelamin Luar :


· Labia majora (bibir besar), yang merupakan lipatan bagian luar yang tebal.

· Labia minora (bibir kecil), yang merupakan lipatan bagian dalam yang lebih kecil.

· Klitoris (kelentit), yang penuh dengan rongga-rongga di dalamnya.

· Vestibulum, yang terbentang antara kedua labia minora. Pada vestibulum itu terdapat orificium uretra (lubang saluran kencing) dan orificium vagina (lubang kelamin). Pada wanita yang belum pernah melakukan hubungan seksual, lubang kelamin ini biasanya tertutup oleh hymen (selaput dara).


Alat Kelamin Dalam :


· Uterus (rahim), organ yang berongga, ukurannya sekitar 9 x 6 x 2,5 cm.

· Ovarium (indung telur), dua buah, yang berbentuk agak oval, tempat ovum (sel telur) mengalami proses pematangan.

· Tuba uterina (saluran telur), yang menghubungkan indung telur dengan rahim, panjangnya sekitar 8 – 14 cm.



A. Kesuburan Wanita Dewasa


Sejak usia remaja, seorang remaja putri mulai mengalami masa-masa subur, yang datang bergantian dengan masa-masa tidak-subur. Masa-masa itu ditandai oleh perubahan-perubahan yang bersifat fisik, yang diiringi dengan pengalaman-pengalaman yang lebih bersifat psikis. Terkait dengan proses alamiah tersebut, berikut adalah hal-hal yang terpenting :


· Menstruasi atau haid : menstruasi atau haid ialah pengeluaran darah dari rahim melalui vagina, yang terjadi secara periodik dan siklik, sekitar sebulan sekali, selama usia subur, yakni sejak menstruasi-pertama sampai dengan menopause.

· Ovulasi : ovulasi adalah pelepasan telur yang matang dari indung telur, lalu masuk ke rahim. Telur yang matang itu kemudian akan berkembang menjadi janin bila bersatu dengan satu sel mani dari seorang pria dewasa.

· Pubertas atau masa remaja : pubertas atau masa remaja merupakan masa di mana anak mengalami perubahan fisik dan psikis serta pematangan seksual. Pada remaja putri pubertas itu ditandai dengan menstruasi yang pertama, sedang pada remaja putra masa remaja itu ditandai dengan ‘mimpi basah’. Pubertas terjadi terutama karena pengaruh hormon-hormon seksual yang ada dalam tubuh manusia sendiri.



F. Masa Romantis


Masa remaja biasanya merupakan masa romantis, masa yang penuh dengan kenangan dan pengalaman yang manis. Pada masa itu, anak-anak remaja sangat perlu didampingi oleh orangtua mereka, agar masa romantis itu tidak berubah menjadi masa yang tragis. Tentang hal itu, berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan.


Pacaran :


1. Pacaran merupakan bentuk pergaulan antara seorang pemuda dan seorang pemudi, yang mulai dewasa, yang memungkinkan mereka saling mengerti dan saling mengenal dengan lebih baik.

2. Selama berpacaran pemuda dan pemudi itu diharapkan makin mengenal diri masing-masing, makin mengenal kepribadian pacar, dan makin saling mengasihi.

3. Pemuda dan pemudi yang memanfaatkan masa pacaran sebagai masa untuk melakukan aktivitas seksual, bahkan sampai hubungan seksual, dapat menghadapi banyak masalah.


Masa remaja :


· Akibat perkembangan seksualnya, remaja putra maupun remaja putri secara alamiah mengalami munculnya dorongan-dorongan seksual, yang dapat mempengaruhi dirinya maupun hubungan sosialnya dengan orang-orang lain.

· Kecenderungan remaja untuk ber-eksplorasi, ber-eksperimentasi, menikmati kesenangan sesaat, dan bersikap tidak-sabar atau tidak-bijak sering menimbulkan masalah, misalnya : hubungan seksual di luar nikah, atau perkawinan pada usia yang terlalu muda. Hubungan seksual semacam itu dapat mengakibatkan kehamilan yang sebenarnya tidak diinginkan semua pihak. “Kecelakaan” seperti itu sering disebut-sebut dengan istilah-istilah seperti “Perkawinan hamil dulu” (Phd) atau Married By Accident (MBA).

· Orang tua diharapkan dapat menjadi ‘sahabat’ bagi anak-anak mereka yang berada pada masa remaja, saat anak-anak itu mengalami berbagai goncangan hidup.


Sikap-sikap yang perlu dalam menghadapi godaan :


· Mempertinggi penghayatan iman dan moral.

· Menghargai dan setia menjaga kemurnian.

· Mempunyai prinsip pribadi, tidak ikut-ikutan arus atau mode.

· Menghindari lingkungan pergaulan yang kurang baik.

· Memahami pola perkembangan seksual.


Untuk orangtua yang sedang mendampingi anak-anak mereka yang sedang berada pada usia remaja, silahkan memanfaatkan ajakan berikut ini :


“Doronglah mereka dengan segelas niat baik. Kemudian, tambahkan ke dalamnya extra vitamin iman, telur doa, dan sepiring kesadaran, untuk meraih hari depan”


GAMBAR PERKEMBANGAN FISIK WANITA


GAMBAR PENAMPANG ALAT KELAMIN WANITA


SIKLUS HAID DAN HORMON-HORMON PENTING


GAMBAR SIKLUS MENSTRUASI/HAID


GAMBAR PENAMPANG RAHIM WANITA


GAMBAR PERKEMBANGAN FISIK PRIA




GAMBAR PENAMPANG ALAT KELAMIN PRIA



III. SEGI PSIKIS DALAM SEKSUALITAS



A. Pendidikan Seksual bagi Anak


Pada usia berapa seorang anak mulai perlu diberi pendidikan di bidang seksualitas? Sejak masih kecil ! Sedini mungkin !


Sejak berusia sekitar 2,5 tahun, seorang anak sebenarnya sudah bisa diberi pendidikan seksual. Pendidikan seksual itu bisa dimulai dengan memperkenalkan perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Bisa dijelaskan secara terus terang perbedaan bentuk alat kelamin dari keduanya. Sambil membersihkan alat kelamin anak, demi kesehatannya, orang tua dapat menerangkan perbedaan hal itu.


Bila seorang anak menanyakan asal-usul adiknya, yang masih berada dalam kandungan ibunya, kepadanya belum perlu diuraikan segala hal yang terkait dengan pertanyaan tersebut. Mungkin cukuplah kalau anak itu diberi jawaban seperti berikut : “Ayah sayang pada ibu, maka ayah memberi hadiah pada ibu seorang adik. Tetapi adik itu juga diberikan untuk kamu”. Dengan jawaban itu anak mempunyai pengertian positif tentang adiknya : adiknya bukan hanya milik bapak-ibu, melainkan juga miliknya! Maka ia tidak akan mudah iri hati kepada adiknya.


Sikap menerima adik secara positif itu dapat ditingkatkan bila anak tersebut juga boleh dan mau mengusap-usap perut ibunya yang makin membesar. Ia bahkan dapat didorong untuk berbicara dengan adiknya, yang masih berada dalam kandungan itu.


Ketika berusia sekitar 3-4 tahun, seorang anak mungkin bertanya : “Mengapa aku harus memakai rok, sedang kakak memakai celana?” Pertanyaan tersebut sebaiknya dijawab secara sederhana saja. Misalnya : “Sebab kamu anak perempuan, sedang kakak adalah anak laki-laki”. Bila dia bertanya lagi : “Anak perempuan itu anak yang bagaimana? Anak laki-laki itu anak yang bagaimana?”. Pertanyaan itu bisa dijawab, misalnya : “Anak perempuan itu alat kelaminnya di dalam. Anak laki-laki itu alat kelaminnya di luar”.


Pada usia 8-10 tahun, anak biasanya sudah mampu membedakan dirinya dari anak dari jenis-kelamin yang lain. Pengetahuannya tentang seks cepat bertambah, terutama karena masukan yang ia peroleh dari media massa. Karena itu orang tua tidak boleh berbohong bila anaknya bertanya tentang seks-nya. Kalau anak tidak puas dengan jawaban orang tua, dia justru terdorong mencari jawaban dari sumber-sumber lain, yang belum pasti benar.


Kepada anak-anak usia 11 tahun ke atas, orang tua perlu memberi saran agar mereka tidak sering mengucapkan kata-kata yang jorok. Mereka perlu dilatih dan dididik agar melihat seks sebagai suatu hal yang baik, bukan suatu hal yang kotor, bukan suatu hal yang pantas dijadikan lelucon. Namun, saat anak-anak ternyata berbicara jorok, orang tua tidak perlu terlalu mudah panik.


Hal-hal berikut kiranya layak diperhatikan orang tua saat memberikan pendidikan seksual bagi anak-anak mereka :


1. Jawaban atas pertanyaan sekitar seks sebaiknya diberikan oleh kedua orang tua, agar jawaban itu saling melengkapi;

2. Jawaban itu tidak perlu lengkap, melainkan secukupnya saja, sesuai dengan daya tangkap dan kebutuhan anak;

3. Jawaban itu harus benar, tidak bohong, sebab seks itu bukan suatu hal yang jorok, melainkan suatu hal yang baik;

4. Jawaban sebaiknya langsung diberikan kepada anak, segera setelah pertanyaan disampaikannya, jangan ditunda-tunda;

5. Selain istilah-istilah yang tradisional, istilah-istilah modern tentang seks sebaiknya juga diperkenalkan kepada anak-anak, agar mereka memahaminya (misalnya : vagina, penis, dsb.);

6. Bila memang tidak mampu menjawab pertanyaan anak, orang tua tidak perlu malu untuk mengakui hal itu, agar anak tidak merasa salah bila mencari jawaban dari sumber lain;

7. Pertanyaan-pertanyaan anak tentang seks janganlah ditanggapi secara emosional, apalagi dengan curiga, agar anak tidak mendapat kesan bahwa seks itu suatu hal yang jorok.



B. Perkembangan psikis anak pada awal masa remaja


Pada masa remaja, seorang anak mengalami perkembangan secara besar-besaran, baik secara fisik maupun secara psikisnya. Tentang perkembangan psikisnya, hal-hal berikut kiranya pantas untuk diperhatikan :



1. Pada awal masa remaja, setiap anak muda yang normal biasanya mulai mengalami dorongan-dorongan seksual, perasaan terangsang, tertarik, atau bahkan juga jatuh cinta pada lawan-jenis.

2. Menurut para ahli, dorongan-dorongan seksual pada pria dan wanita pada dasarnya sebenarnya sama. Yang berbeda adalah cara mengungkapkannya.

3. Dorongan-dorongan seksual biasanya menjadi kuat apabila ada rangsangan-rangsangan dari luar, baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat psikis. Dorongan-dorongan tersebut menyebabkan orang ingin melakukan aktivitas seksual (ciuman, pelukan, rabaan), atau bahkan untuk melakukan hubungan seksual.

4. Ke-tidakmatang-an dan ke-tidakdewasa-an remaja di bidang seksual sering menimbulkan banyak masalah. Masalah-masalah tersebut dapat merugikan diri sendiri maupun keluarganya. Karena itu, anak-anak remaja perlu didampingi secara cermat oleh kedua orang tua mereka.

5. Anak-anak remaja perlu diberi kesempatan yang luas untuk mengembangkan minat dan bakat mereka, agar perhatian mereka tidak terlalu mudah terpusat pada kebutuhan seksual mereka, yang sedang mereka alami secara nyata.



III. SEGI MORAL DARI SEKSUALITAS



A. Sumber dan Landasan Moral Katolik


Moral katolik tidaklah terumuskan sekali jadi, melainkan merupakan hasil dari perkembangan yang sangat lama. Perkembangan itu diawali oleh tradisi umat Israel pada masa Perjanjian Lama. Oleh karena itu, moral katolik sangat dipengaruhi oleh moral umat Perjanjian Lama.


Meskipun demikian, moral katolik terutama dipengaruhi oleh ajaran Tuhan Yesus dan pandangan santo Paulus, seperti terungkap dalam Kitab Perjanjian Baru, terutama dalam keempat Injil dan surat-surat Paulus.


Dalam lingkungan umat katolik, moral umat Perjanjian Lama dan ajaran Tuhan Yesus serta pandangan santo Paulus itu kemudian dirumuskan secara resmi oleh pimpinan Gereja katolik. Bila dibandingkan dengan moral umat Perjanjian Lama, ajaran moral Gereja katolik menunjukkan kemiripan maupun perbedaan. Boleh dikatakan bahwa ajaran moral Gereja katolik merupakan penyempurnaan dari moral umat Perjanjian Lama.



B. Ajaran Gereja Katolik tentang Moral


Pimpinan Gereja katolik mengajarkan bahwa setiap orang diberi dua pedoman moral dalam berperilaku, yakni : pedoman yang bersifat individual dan pedoman yang bersifat universal. Pedoman yang bersifat individual itu disebut suara hati atau hatinurani, sedang pedoman yang bersifat universal itu disebut norma-norma moral.


Tentang suara hati atau hatinurani itu, santo Paulus memberi penjelasan berikut, dalam suratnya kepada umat di Roma : “Isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati ... (semua orang) ... dan suara hati mereka turut bersaksi ... Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah ... menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia” (Rm 2:15-16). Ajaran santo Paulus itu kemudian mendorong pimpinan gereja katolik untuk mengajarkan prinsip-prinsip moral berikut :


· Setiap orang dianugerahi oleh Allah hatinurani ;

· Hatinurani itu membuat orang mampu memahami kebaikan dan kejahatan ;

· Hatinurani itu cenderung mendorong orang untuk mengusahakan kebaikan ;

· Hatinurani itu cenderung mendorong orang untuk menghindari kejahatan ;

· Hatinurani itu dapat keliru, karena ketidaktahuan atau karena kebiasaan berdosa .


Pada anak-anak kecil, hatinurani belum berfungsi semestinya. Karena itu, orangtua diharap memberikan pendidikan moral kepada anak-anak di rumah, terutama dengan mengembangkan dan membina hatinurani mereka. Caranya adalah dengan memberi teladan dan pengajaran tentang perilaku yang baik, terutama dengan menghormati Tuhan dan mengasihi sesama. Selain itu, orangtua hendaknya juga memberi teladan dan pengajaran tentang pertobatan, yang perlu dilakukan setiap malam, terutama bila sebelumnya telah melakukan perbuatan yang kurang atau tidak baik.


Karena hatinurani manusia dapat keliru, maka masyarakat memberi tuntunan moral kepada semua warganya, antara lain melalui norma-norma moral. Menurut pimpinan Gereja katolik, sebagian dari norma-norma moral itu “berasal” dari Allah, sedang sebagian yang lain lagi adalah “buatan” masyarakat manusia sendiri.


Norma-norma moral umat Perjanjian Lama terungkap terutama dalam “Sepuluh Firman Allah”, yang antara lain berbunyi sebagai berikut : “Hormatilah ayahmu dan ibumu ... Jangan membunuh. Jangan berzinah. Jangan mencuri. Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu ... Jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu” (Kel 20:12-17).


Oleh Tuhan Yesus, norma-norma moral umat Perjanjian Lama di atas kemudian diperbaiki dan disempurnakan, terutama melalui “Kotbah Di Atas Bukit”, yang antara lain berbunyi sebagai berikut : “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga ... Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5:20.48).


Mengingat hal-hal di atas, pimpinan gereja katolik berharap, orang beriman mau dan mampu mendidik anak-anak mereka di bidang moral, antara lain dengan mengajarkan dan melaksanakan cara hidup yang sesuai dengan “Sepuluh Firman Allah” dan “Kotbah Di Atas Bukit”. Cara hidup seperti itu bukanlah cara hidup yang bersifat minimalis, melainkan cara hidup yang bersifat optimalis. Orang-orang muda katolik hendaknya diajak mencapai kebaikan tertinggi, tidak bersemboyan “asal tidak jahat-jahat banget”.



C. Ajaran Gereja Katolik tentang Seksualitas


Pandangan umat Perjanjian Lama tentang seksualitas antara lain terungkap dalam kitab Kejadian, yang berbunyi sebagai berikut : “Allah menciptakan manusia menurut gambarNya ... ; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka. Allah memberkati mereka, lalu berfirman kepada mereka : Beranakcuculah dan bertambah banyak“ (Kej 1:27-28). Selain itu, juga dikatakan bahwa : “Dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan ... Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu menjadi satu daging” (Kej 2:22.24).


Pandangan umat Perjanjian Lama di atas kemudian diperbaiki dan disempurnakan oleh Tuhan Yesus Kristus. Ajaran beliau itu antara lain berbunyi sebagai berikut : “Pada awal dunia, Allah menjadikan (manusia) laki-laki dan perempuan; sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu”(Mrk 10:6-8) .


Berdasarkan pandangan umat Perjanjian Lama dan ajaran Tuhan Yesus di atas, pimpinan Gereja katolik kemudian mengajarkan bahwa :


1. Pria dan wanita itu diciptakan dan diberkati oleh Allah sendiri ;

2. Pria dan wanita itu, bersama-sama, merupakan citra Allah ;

3. Pria dan wanita itu punya martabat yang sama; yang berbeda adalah perannya ;

4. Pria dan wanita diperintah oleh Allah untuk bersatu dan beranakcucu ;

5. Hubungan seks hanya layak dilakukan oleh suami dan isteri, yang bersedia

bersatu sepenuh-penuhnya dan bersedia pula menurunkan anak .



D. Ajaran Gereja Katolik tentang Kemurnian


Pandangan umat Perjanjian Lama tentang kemurnian terungkap dalam “Sepuluh Firman Allah” yang antara lain berbunyi sebagai berikut : “Jangan berzinah ... Jangan mengingini isteri orang” (Kel 20:14.17).


Pandangan umat Perjanjian Lama di atas kemudian diperbaiki dan disempurnakan oleh Tuhan Yesus, antara lain dalam “Kotbah Di Atas Bukit” yang berbunyi sebagai berikut : “Kamu telah mendengar firman : Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu : Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat 5:27-28). .


Searah dengan ajaran Tuhan Yesus di atas, santo Paulus mengungkapkan hal berikut : “Mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri” (1 Kor 7:2).


Berdasarkan pandangan umat Perjanjian Lama dan ajaran Tuhan Yesus serta santo Paulus di atas, pimpinan Gereja katolik kemudian mengajarkan bahwa :


1. Orang tidak layak berbuat cabul , dengan siapa pun juga ;

2. Orang bahkan diharap menghindari keinginan untuk berbuat cabul dan menghindari pornografi serta kesempatan-kesempatan yang “menggoda”.



E. Ajaran Gereja Katolik tentang Onani


Pandangan umat Perjanjian Lama tentang onani (atau masturbasi) antara lain terungkap dalam kitab Kejadian. Pandangan tersebut dikemas dalam suatu kisah tentang seseorang yang bernama Onan. Tentang Onan itu dikemukakan hal berikut : “Setiap kali menghampiri (mantan) isteri kakaknya itu, ia membiarkan maninya terbuang, supaya ia tidak membuahkan keturunan demi kakaknya. Tetapi yang dilakukannya itu adalah jahat di mata Tuhan, maka Tuhan membunuh dia”(Kej 38:4-10).


Berdasarkan pandangan umat Perjanjian Lama itu, pimpinan Gereja katolik kemudian mengajarkan bahwa :


1. Pada dasarnya, membuang sperma di luar hubungan seks suami-isteri merupakan suatu tindakan yang tidak layak ;

2. Maka pada dasarnya onani tidaklah layak dilakukan ;

3. Meskipun demikian, onani yang terjadi “tanpa disengaja”, misalnya karena adanya problem-problem psikis, tidaklah selalu merupakan suatu perbuatan yang secara moral jahat.


Pimpinan Gereja katolik menyadari dan mengakui bahwa orang-orang muda kadang-kadang tergoda melakukan onani (atau masturbasi) karena kurang menyadari keburukan dari perbuatan itu. Meskipun begitu, pimpinan Gereja katolik tetap menegaskan bahwa pada dasarnya onani bukanlah perbuatan yang baik.



F. Ajaran Gereja tentang Homoseksualitas


Pandangan umat Perjanjian Lama tentang “hubungan-seks sejenis-kelamin” antara lain terungkap dalam rumusan berikut : “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki seperti orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu merupakan suatu kekejian”(Im 18:22).


Searah dengan itu, santo Paulus juga menilai “hubungan-seks sejenis-kelamin” sebagai perbuatan yang buruk. Dalam suratnya kepada umat di Roma, misalnya, santo Paulus mengemukakan hal berikut : “Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tidak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki”(Rm 1:26-27).


Berdasarkan pandangan umat Perjanjian Lama dan ajaran santo Paulus di atas, pimpinan Gereja katolik kemudian mengajarkan bahwa :


1. Hubungan-seks hanya layak dilakukan oleh suami-isteri ;

2. Maka, “hubungan-seks sejenis-kelamin” tidak layak dilakukan ;

3. Meskipun kecenderungan homoseksual sendiri bukanlah suatu hal yang jahat, kecenderungan itu perlu dikendalikan, sejauh mungkin ; sejauh mungkin, mereka yang mengalami kecende rungan homoseksual diharap berusaha “meluruskannya”, mes- kipun hal itu tidaklah mudah.


Akhir-akhir ini pimpinan Gereja katolik menyadari dan mengakui bahwa “hubungan-seks sejenis-kelamin” itu berbeda dari kecende rungan homoseksual. Berdasarkan penelitian para ahli sosiologi dan ahli psikologi, kecenderungan homoseksual itu dapat terjadi karena berbagai sebab dan seringkali bukan kemauan orang yang bersangkutan. Karena itu, kecenderungan homo-seksual sendiri tidak dinilai oleh Gereja katolik sebagai suatu hal yang immoral.


Pimpinan Gereja katolik berharap, orangtua memberikan pendidikan seksual yang baik bagi anak-anak mereka, sedemikian sehingga mereka terhindar dari kecenderungan homoseksual maupun dari “hubungan-seks sejenis-kelamin”. Salah satu caranya adalah : memberikan kesempatan yang cukup luas bagi anak-anak mereka untuk bergaul dengan lain-jenis : anak laki-laki dengan anak perempuan, dan sebaliknya.



Bahan Bacaan


1. Atkinson, R.L.dkk.: Pengantar Psikologi. Edisi ke 11. Interaksara.

2. Erwin J. : Pendidikan Dasar Seks untuk Anak. Curiosita. Yogyakarta. 2005

3. Dominian J. : Proposals for a new Sexual Ethic. London.1977

4. Konseng,A.: Menyingkap Seksualitas. Penerbit Obor, Jakarta. 1995

5. KWI dan BKKBN : Pendampingan Orangtua dalam Pendidikan Seksualitas Remaja. Jakarta. 2000

6. McCarthy, D.G. : Critical Sexual Issues. New York. 1984

7. Nadesul, H.: Mengintip Rahasia Seksual Si Doi. Gramedia, Jakarta. 1994

8. Pangkahila, W. : Membina Keharmonisan Kehidupan. Gramedia, Jakarta. 1999

9. Pangkahila, W. : Seksualitas Anak dan Remaja. PT Grasindo, Jakarta. 1998

10. Pangkahila, W. : Seks Yang Indah. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. 2001

11. Rousseau, M. : Sex is Holy. New York. 1986

12. Tan, N. : Pendidikan Seks untuk Remaja. CV Tata Media, Jakarta 1988
1. Mengapa memahami perilaku sangat penting?

Untuk memahami tingkah laku manusia diperlukan bantuan berbagai macam ilmu pengetahuan. Ilmu fisiologi, mempelajari tingkah laku manusia, dengan menitik beratkan sifat-sifat yang khas dari organ-organ dan sel-sel yang ada dalam tubuh. Sedangkan sosiologi, mempelajari bentuk-bentuk tingkah laku dan perbuatan manusia dengan menitik beratkan pada masyarakat dan kelompok sosial sebagai satu kesatuan, dan melihat individu sebagai bagian dari kelompok masyarakat ( keluarga, kelompok sosial, kerabat, clan, suku, ras, bangsa). Di antara dua kelompok ilmu pengetahuan ini berdiri psikologi, yang membidangi individu dengan segala bentuk aktivitasnya, perbuatan, perilaku dan kerja selama hidupnya (Kartini, K., 1980). Selanjutnya Kartini menyatakan, bahwa fisiologi memberikan penjelasan mengenai macam-macam tingkah laku lahiriah, yang sifatnya jasmani. Sedangkan manusia merupakan satu totalitas jasmani-rohani. Psikologi mempelajari bentuk tingkah laku (perbuatan, aktivitas) individu dalam relasinya dengan lingkungannya.

Dari pemahaman diatas, terlihat bahwa betapa mempelajari sikap dan perilaku manusia sangat penting, agar tercipta hubungan yang baik dengan lingkungan sekitarnya.

2. Faktor-faktor lingkungan terhadap perkembangan emosi

Manusia mempunyai kemampuan yang besar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Keadaan mental maupun emosionil dari seorang ibu hamil dapat mempengaruhi perkembangan anak yang dikandungnya. Keadaan tegangan yang akut maupun kronis dapat merambat melalui sistem hormonal ke plasenta. Efek ini dapat bersifat sementara, tetapi mungkin juga mempunyai pengaruh yang lama (Anna, Sidharta, Brouwer, 1980).

Mengapa orang tua sering menganjurkan agar wanita hamil megusahakan ketenangan, dengan lebih banyak berdoa dan sholat, hal ini dimaksudkan agar sang bayi lahir selamat dan menjadi anak yang baik dalam kehidupan selanjutnya. Banyak juga yang mulai melatih diri dengan mendengarkan musik, dan wanita hamil harus selalu rajin membersihkan badan, yang hal-hal ini dipercaya dapat mempengaruhi sifat/karakteristik bayi nantinya.

Sampai dengan anak beranjak dewasa, orangtua tetap harus dapat memberikan pendampingan dan ketenangan pada anak, karena secara langsung anak akan belajar dari orang tua, bagaimana orangtua menyelesaikan masalah yang dihadapi. Ketenangan orangtua dalam menyelesaikan masalah akan mengesankan si anak, dan kemudian si anak akan mencoba melakukan hal yang sama jika menghadapi masalah serupa.

Dari sekeliling kita, dapat dilihat bahwa anak-anak yang dibesarkan dari ayah ibu yang penuh kasih sayang, akan menjadi anak yang lebih baik dari kematangan emosi, dibanding dengan anak yang dibesarkan dari keluarga berantakan.

Apakah pendidikan dan faktor lingkungan dapat memperbaiki tingkah laku?

Jawabannya adalah ya, karena apabila sejak anak dalam kandungan orangtua telah berperilaku baik, dilanjutkan dengan pendidikan yang sesuai, serta mempunyai pengaruh lingkungan yang baik, maka diharapkan si anak akan nyaman berada pada pengaruh faktor lingkungan yang baik ini. Faktor lingkungan apa yang baik? Hal ini bisa diperdebatkan. Dalam suatu diskusi dengan seorang teman, dia menyatakan bahwa anaknya berperilaku baik, santun, namun menurutnya anaknya terlalu steril. Mengapa demikian? Karena sejak lahir, si anak tumbuh dalam lingkungan kompleks perumahan yang dijaga satpam 24 jam, karena orangtuanya mendapatkan fasilitas rumah dinas. Hal ini berbeda dengan si ayah, yang merupakan ”anak kolong”. Si ayah berani memanjat, mendapat banyak luka di kaki dan tangan….sedang si anak kulitnya mulus, walaupun anak tersebut tidak ada celanya. Hal ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sifat dan perilaku anak.

3. Apakah faktor genetik mempengaruhi tingkah laku?

a. Faktor genetik mempengaruhi beberapa karakteristik sifat anak.

Misalkan ayah (AaBb) menikah dengan ibu (XxYy)

A = tinggi ; a = besar ; B=berambut hitam lurus ; b = kulit kuning langsat

X = sedang; x = mungil ;Y= berambut ikal ; y = kulit sawo matang

Apabila ayah dan ibu dengan karakteristik di atas menikah, maka peluang anak yang akan dilahirkan mempunyai berbagai karakteristik/sifat, yang merupakan paduan karakteristik/sifat ayah dan ibu tersebut.

Misalkan:

Anak ke-1 : berbadan tinggi, besar, berkulit sawo matang dan berambut ikal.

Anak ke-2 : berbadan sedang, mungil, berambut hitam lurus, berkulit sawo matang.

A dan B akan menghasilkan 16 macam peluang sifat, yang merupakan perpaduan dari AaBb dan XxYy.


Dari tulisan Beben, B (2007), penelitian di bidang genetika saat ini tidak hanya tentang sejauh mana faktor genetik mempengaruhi tingkah laku tertentu, tetapi sudah sampai pada tahap identifikasi gen-gen yang mempengaruhinya. Selanjutnya Beben menjelaskan bahwa, bukan hanya masalah kecerdasan (IQ), tingkah laku atau sifat-sifat lainnya juga ternyata sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, seperti: kepribadian, kecanduan terhadap alkohol, neurotism/ketidakstabilan mental, penyakit kejiwaan (alzheimer, schizoprenia), dan lain-lain, yang hampir semuanya dipengaruhi oleh susunan DNA. Hasil penelitian terhadap tingkah laku selain dipengaruhi oleh lingkungan, juga dipengaruhi oleh faktor genetis.

Beben juga menjelaskaan, untuk mengukur sejauh mana faktor genetik mempengaruhi suatu sifat, ahli genetika menggunakan konsep heritabilitas, suatu besaran untuk menduga sejauh mana variasi/perbedaan antar individu pada suatu sifat tertentu dipengaruhi oleh faktor genetik. Faktor-faktor selain faktor genetik biasanya disebut faktor lingkungan. Hal ini termasuk kondisi selama dalam kandungan (pre natal, lingkungan keluarga, nutrisi, pendidikan, kelas sosial, pergaulan dan lain-lain.
Penting untuk dicamkan, bahwa konsep heritabilitas ini adalah properti suatu sifat/karakter dalam suatu populasi, bukan pada seorang individu. Jadi, heritabilitas ini tidak bisa dipakai untuk memprediksi pengaruh genetik pada seorang individu, melainkan memprediksi perbedaan antar individu pada suatu populasi.
Hasil penelitian diberbagai jurnal ilmiah, seperti American Journal of Human Genetics, Behavior Genetics dan Twin Research and Human Genetics menyimpulkan bahwa antara 30-60% variasi pada berbagai tingkah laku manusia dipengaruhi oleh faktor genetik. Hal ini menunjukkan bahwa faktor keturunan hampir sama pentingnya dengan faktor lingkungan dalam mempengaruhi berbagai karakteristik manusia (Beben, 2007).

Beben B., juga menyatakan bahwa, untuk perkembangan ilmu pengetahuan, tujuan utama dari penelitian genetika tingkah laku adalah identifikasi gen-gen yang membuat berbagai karakteristik/sifat manusia. Apabila gen-gen yang mempengaruhi berbagai kelainan tingkah laku seperti penyakit alzheimer dan autisme berhasil diidentifikasi, maka diagnosis dini berdasarkan DNA akan sangat memudahkan pengobatan dikemudian hari. Selain itu, dengan memahami mekanisme fisiologi dan biokimia suatu kelainan tingkah laku, maka diharapkan pencarian obat-obatan dan terapi untuk kelainan-kelainan tsb bisa dilakukan dengan mudah dan cepat.

4. Bagaimana cara menilai sikap dan perilaku anak buah

Tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan juga sangat berkepentingan, dan aspek sikap dan perilaku merupakan kriteria yang harus dimiliki oleh calon karyawan/pimpinannya. Bahkan di beberapa perusahaan, telah dibentuk assessment center, yang bertugas antara lain untuk melakukan penilaian kompetensi melalui observasi perilaku. Kemampuan untuk menilai kompetensi ini juga harus dimiliki oleh para officer, untuk melakukan penilaian para anak buahnya.

Kompetensi dapat digambarkan seperti gunung es, yaitu: a) Kompetensi Teknis (ketampilan & pengetahuan), atau disebut hard skill, yang lebih mudah dilihat. b) Kompetensi perilaku atau disebut soft skill, yang lebih sulit dilihat. Umumnya kompetensi perilaku menjadi lebih penting daripada kompetensi teknis, untuk melakukan pekerjaan yang lebih kompleks. Hal ini disebabkan, dengan personal karakteristik (intensi yang baik), maka akan ditunjukkan oleh perilakunya, dan akan menghasilkan job performance yang lebih baik.

Prinsip dalam menilai perilaku, bahwa observasi perilaku adalah hanya pada perilaku yang sudah ditunjukkan anak buah dalam bekerja, dan bukan perilaku yang akan ditunjukkan, serta bukan ketrampilan/pengetahuan/prestasi kerja.

Perilaku anak buah bisa berupa: pemikiran, perkataan, atau tindakan yang dilakukan. Di dalam melakukan observasi perilaku bawahan, harus ada komitmen bahwa: a) Melakukan observasi secara obyektif. B) Mencatat perilaku dari hasil observasi secara akurat.c) Melakukan observasi selama periode penilaian secara kontinyu (bukan diakhir periode penilaian saja).

Apa yang dicatat?

Perilaku yang dicatat hanya yang terdapat pada bukti perilaku yang bersifat codable, yaitu bukti yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

· Pelakunya adalah anak buah yang akan dinilai

· Perilaku tersebut sudah ditunjukkan atau sudah terjadi (peristiwa masa lalu)

· Pada situasi yang spesifik (bukan generalisasi)

· Perilaku tersebut detil/terinci (tindakan, pemikiran, perkataan)

·Jelas intensi atau niat dari anak buah tersebut dalam melakukan perilaku dimaksud.

Dengan dilakukan observasi perilaku, diharapkan para karyawan melakukan tugasnya dengan lebih baik, sehingga akan memperoleh job performance yang lebih baik, yang pada akhirnya akan meningkatkan produkstivitas kerja. Penilaian ini harus dilakukan secara transparan, sehingga baik atasan maupun anak buah mempunyai pemahaman yang sama, serta didasarkan atas bukti perilaku yang ada.

Sumber data:

a) Kartini Kratono, Dra. Psikologi umum. Yayasan Penerbit Kosgoro. Jakarta, 1980.

b) Anna Alisyahbana, M.Sidharta dan M.A.W. Brouwer. Menuju Kesejahteraan Jiwa. Penerbit PT Gramedia. Jakarta, 1980.

c) Beben Benyamin. Apakah karakter kita tercatat diuntaian DNA? Peneliti post doctoral di Queensland Institute of Medical Research, Australia. Makalah ini dibawakan pada seminar akademik University of Queensland Indonesian Student Association (UQISA), Brisbane, 30 Maret 2007

d) Pelatihan Penilaian Kompetensi melalui observasi Perilaku. Implement, People Management Consultant. Jakarta, 200
PENDIDIKAN SEJATI
Posted on August 21, 2007 by Sismanto

Manusia lahir di dunia fana ini semuanya dalam keadaan fitrah ibarat kertas yang masih putih yang belum ada tulisannya. Kemudian turun iqro atau perintah membaca, yang sebernarnya perlu ditafsirkan dengan pikiran filosofis, sehingga tidak diartikan dengan makna membaca melainkan merenung, memahami, mengaktualisasikannya. Dengan diturunkannya manusia ke bumi adalah sebagai khalifah[1] (pemimpin). Suatu keniscayaan, apabila seorang pemimpin adalah orang yang bodoh atau dengan kata lain tidak berilmu, kemudian Allah juga membekali manusia dengan ilmu pengetahuan. Allah mengajarkan nama-nama benda kepada manusia yang dengan cerdas manusia bisa memahami benda-benda yang diajarkan. Menurut Marheim yang dikutip Sanapiah pendidikan merupan seuatu proses yang dinamik yang senantiasa memperhatikan pengalaman-pengalaman sosial maupun personal, oleh karenanya menuntut analisis, seleksi, refleksi, dan evaluasi yang secara bersama-sama untuk memberikan sejumlah pengetahuan agar bisa lebih memahami totalitas dunia[2].Semua makhluk adalah belajar sepanjang hayatnya (long life education). hewan juga belajar, akan tetapi manusia belajar melalui akal dan pikirannya. Hal inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lainnya. Akhirnya dengan akal pikiran itu, manusia menjadi cerdas dan thu apa yang belum ia ketahui. Sehingga terciptalah kemajuan ilmu pengetahuan dan kebahagian dalam kehidupan. Pendidikan pada umumnya, memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian dan perkembangan intelektual anak. Dengan berbagai upaya yang dilakukan, pendidikan senantiasa mengalami pengkajian ulang dan pembaharuan untuk mencari bentuknya yang paling ideal. Pembaruan dan pengembangan disesuaikan dengan melihat kesesuaiannya dengan hakikat pendidikan itu sendiri dan perkembangan anak. Penyesuaian ini tentu saja akan membawa sains dalam praktek pendidikan (pembelajaran) di lingkungan pendidikan formal (sekolah) untuk mengembangkan pendidikan.Mayoritas penduduk Indonesia adalah penduduk menegah ke bawah dan petani kecil. Kebanyakan dari mereka adalah tuna aksara. Banyak diantara mereka yang masuk sekolah dasar tetapi tidak sampai tamat; kebanyakan cepat putus sekolah atau gagal mengikuti pelajaran secara teratur. Sedangkan selama ini pendidikan yang diadakan di Indonesia adalah bukanlah dari formulasi pendidikan sejati. Artinya adalah masyarakat kalangan bawah belum tersentuh oleh pendidikan yang berbasis pemerataan (educatian for al and all for educationl). Lebih-lebih sekarang ini banyak tumbuh sekolah-sekolah favorit, sekolah unggul, pakaian seragam yang itu semua sebenarnya adalah pelabelan terhadap kelas atas[3]. Apakah pendidikan di Indonesia hanya untuk mengakui kelas sosial saja? Dan apakah masyarakat kalangan bawah yang hidup di kolong-kolong jembatan misalkan tidak bisa mengikuti sekolah di sekolah-sekolah favorit? Padahal banyak diantara mereka secara akademik mampu bersaing dengan yang lain. Pendidikan yang kita selama ini sebenarnya adalah hanya transfer ilmu pengetahuan dari seorang guru kepada siswanya. Hal ini didasari dengan banyaknya guru yang hanya berorientasi pada target (goal oriented) tanpa adanya proses mendidik yang baik kepada anak didiknya. Perbedaan antara pendidikan dan pengajaran. Pendidikan mencakup masalah bagaimana mengembangkan anak didik sebagai manusia individu sekaligus warga masyarakat, sementara pengajaran adalah hanya bagian dari kegiatan pendidikan[4]. Padahal tujuan pendidikan yang sangat dasar dan elementer adalah (1) mengembangkan semua bakat dan kemampuan seseorang, baik yang masih anak, maupun yang sudah dewasa, sehingga perkembangannya mencapai tingkat optimum dalam batas hakikat orang tadi, (2) menempatkan bangsa Indonesia pada tempat terhormat dalam pergaulan antar bangsa sedunia[5]. Maka pendidikan harus diorganisir sesuai dengan prinsip pendidikan yang murni (the true principles of education). Pendidikan yang humanis yang paling menentukan dalam hal ini adalah bagaimana seorang pengajar mampu mengajarkan ilmu sebagai suatu ilmu empiris kepada anak didiknya, selain itu pengajar juga harus memiliki empati. Tanpa empati, pengajar tidak bisa mengajar dengan bergairah, syarat mutlak yang harus dimiliki seorang pengajar agar pelajar terbuka mata budinya terhadap keindahan ilmu pengetahuan (pendidikan).Perbaikan pendidikan tidak hanya berarti perbaikan masa depan anak didik, melainkan juga perbaikan bangsa dan negara Indonesia. Karenanya, sesuai dengan konsepsi long life education pendidikan harus melaksanakan pembinaan sedini mungkin mulai dari tingkat dasar. Berhasil tidaknya pendidikan pada akhirnya dinilai masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Barnadib, Imam. 1992. Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode. Andi Offset: Yogyakarta.Coverdale, G. M., 1985. International Institut for Educational Planning, Merencanakan Pendiidkan Sehubungan dengan Pembangunan Daerah Pedesaan, diterjemahkan Panuti Sudjiman. Penerbit Bharata Karya Aksara: Jakarta dan UNESCO: Paris. Faisal, Sanapiah. Sosiologi Pendidikan. Usaha Nasional: Surabaya. Nasution, S. 1983. Sosiologi Pendidikan. Penerbit Jemmars: Bandung.Robinson, Philip. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan, CV. Rajawali: Jakarta.Santoso, S. Imam. 1981. Pendidikan Watak, Tugas Utama Pendidikan. UI Press: Jakarta.Sumaji, Dkk., 2003. Pendidikan Sains yang Humanistis. Cetakan VI. Kanisius: Yogyakarta.Supadjar, Damardjati. 2000. Filsafat Ketuhanan, Penerbit Fajar Pustaka Baru: Yogyakarta.

[1] Khalifah adalah pemimpin umat. Artinya adalah seseorang yang mempunyai kekuasaan dan bawahan. Tetapi khalifah disini bisa diartikan orang yang bisa menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan lebih-lebih menjadi pemimpin umat. Menurut istilah yang dipakai oleh Umar Kayam adalah Lir suryo (jadilah engkau seperti matahari yang bisa memimpin alam dengan cahaya yang terang untuk dirinya dan orang lain), lir condro (jadilah engkau seperti bulan yang bisa menerangi walaupun hanya dengan beberapa ilmu (cahaya)), dan lir kartiko (bintang, artinya orang yang tidak bisa menerangi/memimpin orang lain tetapi minimal untuk dirinya sendiri) .

[2] Sanapiah. Sosiologi Pendidikan. Hal. 33

[3] lihat kompas 1 Mei 1996 dalam Sumaji, dkk.. hal. 13

[4] Sumaji, Dkk., 2003. Pendidikan Sains yang Humanistis. Cetakan VI. Kanisius: Yogyakarta. Hal. 6


[5] Santoso,1981. Pendidikan Watak, Tugas Utama Pendidikan. Hal. 167
Fenomena Kekerasan Pada Anak

Penghentian Tindak Kekerasan Terhadap Anak
Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Berbicara mengenai kekerasan terhadap anak memang merupakan sesuatu yang dilematis bagi kita, karena kasus-kasus kekerasan terhadap anak ini berakar pada konsep “pembinaan” dan “pendidikan” telah terkonstruksi dalam paradigma masyarakat kita sedemikian rupa, sehingga menyebabkan kesulitan dalam mengatasinya. Akan tetapi, ada beberapa alternatif pemecahan yang dapat ditawarkan agar kasus-kasus kekerasan terhadap anak dapat direduksi secara maksimal.

Dalam perspektif Sosiologi, kekerasan terhadap anak berpijak pada dua kata kunci: perilaku menyimpang dan masalah sosial. Kekerasan terhadap anak ini memiliki akar permasalahan yang berasal dari perilaku menyimpang masing-masing individu yang jika terjadi secara kolektif akan menimbulkan masalah sosial (social pathology). Argumen ini disandarkan pada teori yang diberikan oleh Edwin Sutherland, yang berpendapat bahwa penyimpangan dihasilkan oleh pergaulan yang berbeda, dan dipelajari melalui proses alih budaya. Selain itu, berpijak pada teori Cohen, Perilaku menyimpang merupakan perilaku yang bertentangan dengan aturan-aturan normatif atau hukum, maupun dari harapan lingkungan sosial yang bersangkutan.

Anggapan tersebut paralel dengan definisi masalah sosial, dimana Soedjono Dirdjosisworo (1973) menyebut masalah sosial ini sebagai social pathology atau terjadinya maladjustmen dalam bidang-bidang tertentu yang menyebabkan ketidaksesuaian antara sesuatu yang terjadi dengan sesuatu yang diharapkan. Selain itu, sumber masalah sosial yang berupa nilai dan norma sosial di masyarakat juga dengan jelas menunjukkan paralelitas tersebut. Dengan hubungan tersebut, penyusun berargumen bahwa kekerasan terhadap anak berakar pada perilaku menyimpang, dan jika kekerasan terhadap anak ini semakin bertambah kuantitasnya, akan berimbas pada masalah sosial.

Sebagai sandaran dalam menetapkan sanksi dan batasan, RI telah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah kekerasan terhadap anak. Dua belas tahun sebelum disahkannya UU No 23/2003 tentang perlindungan anak, atau tepatnya pada 1990, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No 36/1990. Intinya adalah, pengembangan nilai-nilai tradisi dan budaya bangsa Indonesia bagi perlindungan dan pengembangan anak yang serasi dengan agama, sosial, budaya, dan ekonomi. UUPA dan KHA secara tegas menyebutkan empat prinsip perlindungan anak yang harusnya dijalani, yakni non-diskriminasi, terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta penghargaan terhadap pendapat anak.

Dalam konteks kekerasan terhadap anak, dapat kita lihat bahwa perilaku-perilaku tersebut, baik yang dilakukan oleh orang tua maupun guru bertentangan dengan UU No 23 tahun 2002. Pada Deklarasi Hak Anak (Declaration of The Right of The Child) sebagaimana disebutkan dalam Preamble of Convention of The Rights of The Child, ditegaskan, "the child, by reason of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care, including appropriate legal protection, before as well as after birth". Hal ini berarti bahwa anak, karena belum dewasa secara fisik dan mental, memerlukan pengawalan dan perlindungan khusus, termasuk perlindungan legal yang layak, sebelum dan sesudah lahir. Dari deklarasi tersebut jelas ditegaskan bahwa praktik-praktik kekerasan terhadap anak tidak ditolerir dalam perspektif hukum internasional.

Selain itu, keluarga sebagai agen terkecil dalam masyarakat juga memegang peranan yang sangat krusial. Menurut Setiawan (2007), keluarga yang harmonis biasanya akan dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebaliknya keluarga yang sering ada masalah baik dari dalam maupun dari luar akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Di sinilah peran serta orangtua dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya menjadi insan cerdas dan mandiri. Lebih lanjut, keluarga yang tertata dengan baik juga akan menjauhkan dari tindak kekerasan terhadap anak.

Faktor berikutnya adalah lingkungan masyarakat, karena di sinilah anak banyak berinteraksi selain dari lingkungan keluarga. Menciptakan tatanan masyarakat yang damai adalah kunci utamanya. Artinya, seorang anak akan tumbuh kembang dengan baik apabila masyarakat jauh dari konflik sosial. Anak yang dibesarkan dari berbagai konflik biasanya akan lebih agresif dalam artian sering bertindak brutal dan kurang mampu mengendalikan diri dengan baik. Hal ini tentunya berbeda dengan anak-anak yang dibesarkan dalam situasi yang aman dan jauh dari konflik. Mereka pada dasarnya dapat tumbuh kembang dan belajar dengan baik (Setiawan, 2007).

Paradigma masyarakat bahwa kekerasan yang dialami anak adalah hal yang lumrah dan biasa saja yang sudah terkonstruksi juga sudah seharusnya diubah. Apalagi, seperti ditulis oleh Suyanto (2002), di tengah kultur masyarakat yang menempatkan posisi anak selalu asimeteris dengan orang dewasa. Semuanya itu harus sedikit demi sedikit diubah dengan pendekatan persuasif melalui pemerintah sebagai agen sosialisasi. Akan tetapi, dengan adanya anggapan bahwa kekerasan merupakan bagian dari proses pendidikan yang dibutuhkan untuk mendisiplinkan anak, sulit bagi kita untuk mengharapkan kasus-kasus child abuse dapat dieliminasi. Meski demikian, bukan berarti kasus child abuse bisa kita dibiarkan terus terjadi dan terus memakan korban.

Oleh karena itu, kerjasama yang sinergis antara masyarakat, media, keluarga, LSM, dan Pemerintah sangat penting dalam mengampanyekan pentingnya penghindaran kekerasan terhadap anak di rumah tangga, lingkungan sosial, atau sekolah. Selain itu, perlu adanya langkah-langkah strategis dan agenda aksi ke depan. Kepada masyarakat, hentikanlah semua praktik kekerasan terhadap anak baik yang dilakukan secara fisik maupun psikis, karena kekerasan terhadap anak jelas-jelas telah bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat kita.

Kalau tidak kita mulai sekarang, kapan lagi?

1 komentar:

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar mengatakan...

Terima kasih telah memuat artikel saya...