Minggu, 04 November 2007

peduli

Menunggu Taji UU Penyandang Cacat

Para pengusaha yang tidak mau mempekerjakan penyandang catat, sebenarnya bisa dikenai sanksi. Jerat untuk pengusaha 'tak berhati' itu ialah UU Nomor 4 tahun 1997 yang mewajibkan para pengusaha untuk mempekerjakan penyandang cacat minimal 1% dari jumlah tenaga kerja yang dipekerjakannya.
UU itu memang belum terasa tajinya.Pasalnya, meskipun sudah berusia empat tahun, ternyata UU itu masih dalam tahap sosialisasi.
UU itu juga akhirnya dipermaklumkan pemberlakuannya secara konsisten, karena adanya krisis. Ihwal rekrut merekrut tenaga kerja,di masa krisis ini, memang menjadi tidak populer. Tidak memecat karyawan saja sudah merupakan sebuah keuntungan.
Tetapi, apa pun yang terjadi, UU itu harus diberdayakan. UUD 1945 pasal 34 juga tegas mengamanatkan perlunya memberi peran berarti para penyandang cacat itu. Persoalannya, orang cacat di Indonesia, meski memiliki ketetrampilan memadai, tetap saja masih dipandang sebelah mata.
Selain itu, ada faktor internal dalam diri para penyandang cacat yang menyebabkan mereka kurang mendapat posisi yang pantas di tengah masyarakat.
Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Rabu (9/1) di Jakarta mengatakan, ada beberapa kendala dalam memberdayakan penyandang cacat.
Pertama, ada di antara para penyandang cacat yang menggunakan kekurangannya untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan cara mengeksploitasi kecacatannya sehingga menimbulkan rasa iba dari orang lain. Dengan cara seperti itu mereka akan memperoleh bantuan.
Kendala kedua dari sisi pengusaha. Para pengusaha masih dirasakan adanya keengganan serta ketidakpercayaan terhadap potensi para penyandang cacat.
Kenyataan ini terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan pada 107 perusahaan di wilayah Jabotabek. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa tenaga kerja penyandang cacat yang telah dipekerjakan hanya 0,01-0,05% dari keseluruhan tenaga kerja yang ada.
”Ini tentu saja masih belum sesuai dengan ketentuan dalam,” ujarnya.
Ketiga, dari sisi masyarakat. Pada umumnya masih banyak yang salah paham terhadap keberadaan dan potensi penyandang cacat. Mereka masih dianggap orang yang tidak memiliki kemampuan sehingga cenderung menjadi beban bagi orang lain dan perlu dikasihani.
Kendala lain adalah belum memadainya aksesibilitas sarana umum bagi penyandang cacat, baik aksesibilitas fisik dan nonfisik. Hal tersebut secara tidak langsung berpengaruh pada proses kemandirian para penyandang cacat.
Depsos memiliki beberapa balai pelatihan bagi para penyandang cacat dan balai tersebut ada yang mendapat bantuan dari pemerintah Jepang, seperti balai pelatihan yang ada di Cibinong.
Meski demikian balai pelatihan milik Depsos belum mampu menampung para penyandang cacat yang jumlahnya ratusan ribu.
”Balai pelatihan bagi penyandang cacat di Cibinong kualitasnya lebih bagus bila dibandingkan dengan politeknik. Selain fasilitas yang ada di sana merupakan sumbangan pemerintah Jepang, para penyandang cacat yang selesai mengikuti pelatihan di sana, tidak ada yang menganggur,” lanjut Mensos.
Di balai tersebut, para penyandang cacat memperoleh keterampilan di bidang elektronik, metal, menjahit dan sebagainya. Biaya operasional yang dikeluarkan Depsos sebesar Rp 2,350 juta per orang per tahun.

Pengawas Terbatas
Sekretaris Dirjen Bina Latihan dan Penempatan Dalam Negeri Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bachrun Effendy mengakui, sejak disahkannya UU 4/ 1997, belum ada satu pun perusahaan yang ada di Indonesia yang dikenakan sanksi karena tidak mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya.
Hal ini disebabkan oleh terbatasnya jumlah pegawai pe-ngawas yang ada di seluruh Indonesia, sehingga pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang ada belum efektif berjalan.
Menurut Bachrun, dalam menempatkan tenaga kerja, perlu diketahui gambaran umum masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Saat ini pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia meningkat, sedangkan pertumbuhan kesempatankerja sangat terbatas.
Dari data statistik tahun 2000 disebutkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 37 juta orang.
Dari jumlah tersebut, 30,09 juta orang merupakan setengah menganggur (bekerja kurang dari 35 jam per minggu) dan sisanya memang pengangguran murni.
Dia menambahkan angka persaingan untuk mengisi lowongan kerja semakin ketat dan ini merupakan kesulitan bagi para penyandang cacat.
Depnaker sendiri telah berupaya membuat kebijakan berkaitan dengan penempatan tenaga kerja penyandang cacat. Dalam UU no 4 tahun 1997 disebutkan bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan 100 orang karyawan, harus mempekerjakan satu orang penyandang cacat. Depnaker telah melakukan sosialisasi UU tersebut agar para pengusaha dapat melaksanakannya.
Dalam rangka memberdayakan tenaga kerja penyandang cacat, kita harus melihat permasalahan yang dihadapi, mengingat danmelihat situasi sebab penyandang cacat tidakmungkin bekerja di semua jabatan.
Namun dalam pelaksanaannya, muncul beberapa masalah yang dihadapi, antara lain terbatasnyakesempatankerja yang terbuka di dalam negeri. Sementara itu untuk penempatan tenaga kerja penyandang cacat ke luar negeri juga belum dapat dilakukan karena adanya kualifikasi tertentu.
Selain itu, kurangnya data dan kompetensi yang dimiliki oleh pekerja penyandang cacat.
Depnaker belum memiliki data yang pasti tentang penyandang cacat yang ada di seluruh Indonesia. Tak jarang ada pula penyandang cacat yang merasa rendah diri dan hal tersebut juga merupakan masalah.
Ia menghimbau untuk ke depan, pihak perusahaan hendaknya memberikan kesempatan bagi para penyandang cacat untuk mengikuti kegiatan pemagangan untuk jabatan yang sesuai dengan tingkat kecacatannya. Dengan demikian mereka lebih percaya diri dan mampu melakukan pekerjaan dan mudah memperoleh lapangan kerja.

Pemberdayaan Penyandang Cacat

Oleh Darmadi

JAWA Tengah telah dikenal sebagai Provinsi yang sarat perhatian terhadap penyandang cacat. Hal tersebut cukup beralasan, karena berbagai usaha pembinaan penyandang cacat banyak dilakukan masyarakat dan pemerintah di daerah ini, baik terhadap penyandang cacat tubuh (daksa), mental (grahita) netra, rungu wicara, eks kusta maupun cacat ganda.

Jenis kegiatannya juga beragam artinya ada yang melakukan kegiatannya melalui program-program rehabilitasi sosial dan vokasional, pendidikan, rehabilitasi medis, penyantunan, perawatan, resettlement dan pembinaan olahraga.

Kegiatan dimaksud dapat kita lihat melalui adanya penyelenggaraan Panti Sosial Bina Penyandang Cacat, YPAC, YAT, SDLB/SLB, RSOP, BPOC untuk olahraga, perawatan cacat ganda, pemukiman eks penyandang kusta, dan berbagai yayasan sosial maupun usaha perseorangan yang menyantuni atau mendidik penyandang cacat yang terdapat di berbagai kota di Jawa Tengah.

Adanya beragam kegiatan untuk penyandang cacat tersebut, menunjukkan bahwa masyarakat dan pemerintah memiliki komitmen yang sama untuk mengangkat harkat dan martabat penyandang cacat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial mereka.

Kondisi Objektif

Kondisi sosial penyandang cacat pada umumya dinilai dalam keadaan rentan, baik dari aspek ekonomi, pendidikan, keterampilan maupun kemasyarakatannya. Kondisi inilah yang membawa situasi sikap mereka belum seluruhnya proaktif memanfaatkan lembaga sosial pendidikan yang ada sebagai suatu kebutuhan.

Secara ekstern, bahkan masih ada keluarga yang menyembunyikan anggota keluarganya yang cacat terutama di pedesaan. Di sisi lain, masih ada masyarakat yang memandang dengan sebelah mata terhadap keberadaan dan kemampuan para penyandang cacat.

Padahal tidak sedikit dari para penyandang cacat mampu berprestasi di bidangnya, lebih-lebih setelah melalui proses pendidikan atau rehabilitasi sosial dan penyantunan.

Pertanyaan yang sering muncul adalah, "Apakah benar penyandang cacat atau keluarganya itu sendiri penyebab utama mereka menutup diri ? Apakah sikap itu bukan sebagai refleksi atas masih adanya pandangan keliru di antara sebagian kecil masyarakat terhadap potensi penyandang cacat ?"

Kedua pertanyaan tersebut mungkin benar pula adanya. Artinya, fenomena kedua-duanya saling mempengaruhi, sebab memang ada unsur masyarakat baik perseorangan, komunitas maupun strata sosial tertentu yang belum atau kurang responsif terhadap peningkatan harkat dan martabat penyandang cacat.

Apalagi pemahaman terhadap kompleksitas permasalahannya, maupun kepeduliannya terhadap pemberdayaan penyandang cacat, bagi mereka yang seperti itu jelas sikapnya kurang mendukung terhadap usaha-usaha pembinaan terhadap penyandang cacat.

UU NO 4 Tahun 1997

Penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan kesempatan serat peran yang sama dalam segala aspek kehidupan maupun penghidupan seperti halnya warga negara Indonesia yang lain. Kini, pengakuannya telah dikuatkan secara hukum melalui UU No 4 Th 1997, diikuti terbitnya Peraturan Pemerintah No 43 Th 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.

Bagi penyandang cacat sendiri, terbitnya perundang-undangan tersebut disambut sangat gembira karena dasar pijakan untuk perbaikan nasibnya telah ada landasan hukumnya.

Peluang untuk mendapatkan kesamaan kesempatan, seperti pendidikan, ketenagakerjaan / pekerjaan, iklim usaha perlakuan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupannya secara resmi telah dijamin oleh undang-undang.

Bahkan dalam rangka mewujudkan peluang kesamaan kesempatan dan perlakuan dimaksud, secara tegas diatur di dalam Peraturan Pemerintah No 43 Th 1988. Setiap pengadaan sarana dan prasarana umum yang diselenggarakan pemerintah dan / atau masyarakat wajib menyediakan aksessibilitas, yaitu kemudahan bagi penyandang cacat, baik aksessibilitas dalam bentuk fisik maupun nonfisik seperti pada jalan umum, bangunan umum, angkutan umum, maupun pada tempat-tempat pada pelayanan khusus yang lain, sehingga memungkinkan semua penyandang cacat dapat melakukan aktivitas tanpa harus menemui rintangan atau kesulitan-kesulitan secara fisik dan psikis.

Demikian pula kesamaan kesempatan untuk aspek yang lain.

Dalam hal pemberdayaan penyandang cacat, menurut Pasal 14 UU No 4 Th 1997 dimaksud menegaskan bahwa perusahaan negara seperti BUMN dan BUMD maupun perusahaan swasta seperti yang tergabung dalam Apindo, KUD dan yang lainnya harus mempekerjakan sekurang-kurangnya satu orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan untuk setiap 100 orang karyawan, tanpa diskriminatif dalam pengupahan untuk pekerjaan dan jabatan yang sama.

Menurut ketentuan Pasal 28 UU No 4 Th 1997 tersebut, pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 14 dimaksud diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp200 Juta.

Sesuai dengan ketentuan pasal tersebut, tidak ada alasan bagi penyelenggara jasa lapangan kerja mempersulit penerimaan tenaga kerja penyandang cacat.

Mempersulit tenaga kerja penyandang cacat untuk bekerja dalam suatu lembaga atau perusahaan atau kegiatan ekonomis/jasa, selain dapat dianggap diskriminatif, juga merupakan tindak pidana yaitu pelanggaran.

Mempersiapkan penyandang cacat menjadi tenaga kerja terampil produktif dan bermental wiraswasta, sebenarnya telah banyak dilakukan oleh pemerintah. Sebut saja eks Departemen Sosial dan eks Departemen Tenaga Kerja. Melalui proses rehabilitasi sosial dan pelatihan keterampilan, mereka dipersiapkan menjadi tenaga kerja terdidik, baik untuk magang kerja maupun untuk berwiraswasta.

Bahkan usaha serupa dilakukan oleh beberapa yayasan sosial, meskipun m,asih terbatas jumlahnya. Kegiatan dimaksud tidak hanya tertuju bagi penyandang cacat tubuh, tetapi juga bagi penyandang cacat mental, rungu wicara dan tuna netra.

Permasalahan yang dihadapi pasca pendidikan antara lain : satu, bagi yang berwiraswasta. Karena mekanisme pasar terkadang menuntut persaingan yang sangan kompetitif, terbatasnya modal dan pengaruh disabel, serta kekurangan lain yang melekat sejak awal, setelah membuka usaha terkadang kita jumpai usaha mereka " berjalan di tempat".

Faktor lain penyebab hal tersebut, karena usaha-usaha mereka masih banyak yang belum memanfaatkan jalinan kerjasama atau kemitraan dengan berbagai sumber yang semestinya dapat diminta bantuannya untuk bekerja sama.

Kegiatan usaha para penyandang cacat banyak yang belum dibangun dengan sinergi yang terpadu, jasa layanan atau hasil produksi yang dijual belum sepenuhnya diorientasikan atas permintaan pasar, dan pengelolaannya terkadang masih mengabaikan prinsip manajemen usaha.

Dua, bagi yang ingin bekerja pada pihak lain, akses dan informasi yang terkait dengan lapangan kerja sangat terbatas mereka miliki. Persyaratan bekerja terkadang kurang proporsional dan sulit dipenuhi bagi para penyandang cacat, pengusaha yang membuka kesempatan kerja bagi penyandang cacat jumlahnya masih sangat terbatas.

Pemberdayaan dalam Otda

Berlakunya UU No 32 Th 2004 tentang pemerintahan daerah telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan keinginan yang berkembang di masyarakat.

Berdasarkan undang-undang ini, tersirat suatu harapan bahwa kepentingan seluruh lapisan masyarakat akan lebih fokus bagi Pemerintah Daerah, karena dengan otonomi daerah pengambilan keputusan lebih kuat otoritasnya dibanding sebelum berlakunya UU No. 22/1999 yang diperbaharui dengan UU No. 32 Th 2004.

Pengerahan potensi sumber daya masyarakat semakin dikembangkan karena esensi otonomi daerah harus mampu mencukupi kebutuhannya atas dasar swadaya daerah. Demikian halnya dalam pemberdayaan potensi penyandang cacat, tidak menutup kemungkinan menjadi suatu paradigma baru karena disentralisasi.

Pemerintah Daerah dengan kewenangannya akan terus mendorong berbagai kekuatan masyarakat baik perorangan, kelompok maupun Institusi supaya mengembangkan kepeduliannya. Jika selama ini kepeduliannya sebatas menyantuni, maka ke depan diperluas dengan kepeduliandibidang yang lain seperti : pertama, turut aktif memasyarakatkan peraturan perundangan untuk penyandang cacat terutama bagi kelompokmasyarakat yang potensial.

Dua, mendorong masyarakat pengusaha semakin terbuka untuk menerima tenaga kerja penyandang cacat.

Tiga, melakukan kegiatan pembinaan atau pelatihan, sehingga produktivitas kerja dan kredibilitas penyandang cacat semakin berkualitas.

Empat, menjadi penghubung atau mediator bagi kepentingan penyandang cacat disatu pihak dan kepentingan diberbagai Institusi dilain pihak.

Dengan demikian, diharapkan perluasan peran tidak hanya pada unsure masyarakat, tetapi juga oleh instansi dan lembaga-lembaga pemerintah menurut kapasitas, kewenangan dan kemampuan yang dapat diperbuatnya untuk penyandang cacat termasuik dalam hal ini recruitmen CPNS bagi penyandang cacat oleh instansi pemerintah.

Melalui keterpaduan dan kerjasama ini para penyandang cacat sendiri semakin menyadari pula bahwa "bukan ikan dan bukan pancing yang diperlukannya, tetapi ilmu memancing yang dibutuhkan" Semoga.

Tidak ada komentar: