Jumat, 23 November 2007

komputasi sosiologi

SEKUNTUM MAWAR


Anton terbelalak. Ia menonton acara televisi yang sangat berbeda di saluran yang berbeda, tapi memiliki kesamaan isi pembicaraan.
Pembicaraan dua orang komentator sepak bola di sebuah stasiun televisi nasional:
Komentator A : Jika kesebelasan X lebih berhasil menjaga stamina dari kesebelasan Y, mereka akan akan senantiasa berhasil menang atas Y.
Komentator B : Ah, tentu saja hal itu sangat mungkin jika saja banyak bola yang mereka sarangkan ke gawang kesebelasan Y! Ingat bola itu bundar!
Komentator A : Ya, anda benar, saya sepakat dengan anda....
Ternyata yang menang kesebelasan Y.
Komentator A & B : Sungguh mengejutkan, namun disitulah menariknya, bola memang bundar...

Pembicaraan dua orang pengamat politik di sebuah stasiun televisi nasional yang lain:
Komentator A : Saya yakin partai X akan menang dalam pemilihan umum nanti jika saja anggota partai X tersebut memiliki komitmen yang besar untuk menyatukan sikap dalam menghadapi pemilihan ini.
Komentator B : Ya, tentu saja, namun jangan lupa, itu semua hanya bisa terjadi jika perolehan suara partai X di semua daerah harus melebihi dari perolehan suara partai lain. Ingat politik itu sangat sulit ditebak!
Komentator A : Saya sepakat dengan anda, itu benar...
Ternyata partai X kalah dalam pemilihan tersebut.
Komentator A & B : Sungguh mengejutkan, namun disitulah menariknya, politik memang sulit ditebak...
KETERANGAN 1:
Sepakbola adalah pertandingan antara dua kesebelasan dan tiap kesebelasan yang memasukkan bola paling banyak ke gawang lawan adalah pemenangnya. Bola tidak boleh disentuh tapi disepak antar pemain yang berjalan atau berlari sesuai strategi. Jadi dibutuhkan stamina yang kuat bagi tiap pemain dalam kedua kesebelasan.
KETERANGAN 2:
Pemilihan umum adalah pesta demokrasi di mana partai saling bersaing satu sama lain, dengan tiap anggotanya harus mengkampanyekan partai masing-masing. Partai yang memperoleh suara terbanyak adalah partai yang memenangkan pemilu. Jadi, setiap anggota partai harus solid mengkampanyekan partainya di semua daerah pemilihan untuk meraih sebanyak mungkin suara.
, dan jika tak ada yang perlu kita ketahui tentangnya, tak Ekonom kenamaan, Milton Friedman menjelaskan bahwa teori baru dapat menunjukkan jati dirinya jika ia berhasil meramal masa depan.
Sosiolog kenamaan, J. S. Coleman membantah, teori baru dapat menunjukkan jati dirinya jika ia memuat kaidah-kaidah logis yang mampu menerangkan suatu fenomena, bukan kemampuan meramalnya. Apakah dengan teori evolusi kita bisa meramal bagaimana bentuk Homo Sapiens 5000 tahun lagi?
Astronom kenamaan, Henri Poincare menunjukkan bahwa ilmuwan tidak mempelajari alam semesta karena gunanya, namun semata-mata karena keindahan yang terkandung di dalamnya. Jika alam semesta tak indah, maka tak ada gunanya kita mengetahui tentangnyaada gunanya melanjutkan hidup ini
Lepas landas


Motif

Usia ilmu sosial adalah setua peradaban manusia, demikian pula riwayat sejarah salah satu fundamennya, sosiologi - sebuah sains yang diharapkan menjadi dasar dari ilmu sosial lain, seperti ekonomi, antropologi, ilmu politik, bahkan psikologi. Begitu manusia mempertanyakan hal-hal tentang bagaimana berinteraksi dengan orang lain, maka upaya sosiologi pun dimulai. Secara mendasar, sosiologi merupakan studi ilmiah tentang kehidupan sosial manusia.

Terdapat begitu banyak pertanyaan yang mendasari berdirinya ilmu sosial: bagaimana mungkin keteraturan sosial dapat terjadi sementara setiap individu pada dasarnya adalah egois. Mengapa kebutuhan sosial merupakan satu kebutuhan primer bagi manusia; bahkan di tengah sumber daya yang sangat terbatas, manusia bisa memelihara kehidupan sosialnya. Mengapa manusia cenderung untuk lebih bekerja sama daripada saling mengkhianati satu sama lain?

Lalu bagaimana terjadinya kerusuhan sosial dan peperangan? Ada yang mengatakan bahwa teraturnya sistem sosial itu diawali dari kontrak sosial yang dibuat masyarakat banyak. Namun bagaimana dan bila kontrak sosial itu runtuh? Mengapa seorang Hitler bisa menggerakkan seluruh orang Jerman menjadi benci pada kaum Yahudi? Bagaimana urusan rumah tangga dan emosi pribadi dapat meruntuhkan satu dinasti?

Lebih populer lagi, dalam berbagai literatur pop self-help, bagaimana bisa "memenangkan" sistem sosial? Bagaimana konsep kepemimpinan yang baik dan bagaimana melakukan manajemen atas bawahan bahkan atasan? Bagaimana kita mengetahui bahwa perilaku kita sudah baik pada lingkungan sosial kita. Bagaimana mungkin budaya barat berbeda dengan budaya timur? Mengapa di kebanyakan negara Eropa orang jarang mempermasalahkan seks di luar nikah sementara di Indonesia hal itu sangat tabu? Mengapa debat kampanye seorang calon presiden Amerika Serikat cenderung menghujat dan menjatuhkan kandidat lain namun tidak ada masalah setelahnya, namun hal tersebut tak terbayangkan akibatnya jika terjadi di Indonesia? Bagaimana cara memasarkan produk agar masyarakat menyukainya dan kemudian membelinya? Bagaimana membuat teman sebanyak mungkin, dan mengapa hal itu perlu?

Mengapa ada orang kaya dan ada orang miskin? Mengapa kita perlu sekolah dan belajar? Mengapa kita harus bersalaman dengan tangan kanan dan bukannya tangan kiri? Mengapa semua negara cenderung meninggalkan konsep diktator dan beralih ke demokrasi? Bagaimana membuat masyarakat sejahtera? Mengapa ada orang yang jadi teroris?

Jika dilanjutkan, maka pertanyaan-pertanyaan yang menjadi landasan pacu sosiologi ini akan memenuhi lebih dari seluruh halaman-halaman homepage yang ada di seluruh dunia. Itu sebabnya sosiologi menggembung, ia merambah kemana-mana. Dan hari ini, pembagian yang ada di perguruan-perguruan tinggi terasa tak cukup. Karena tatkala seseorang perlu membuka sebuah kawasan terpencil untuk jadi kawasan pertambangan, ia akan memikirkan aspek sosialnya. Tatkala sebuah pemerintah merasa perlu membangun sebuah bandara internasional, maka ia bisa kaget jika kemudian melihat anak-anak daerah itu lupa dengan bahasa daerahnya, dan seterusnya, karena sosiologi akan menyentuh apapun yang berhubungan dengan masyarakat.


Beda! Sama!

Sosiologi adalah sains. Tapi samakah ia dengan fisika atau biologi, misalnya? Sebagai ilmu, sosiologi dan sains lain sama. Sama karena semua ilmu bertugas sebagai wiracarita, pencerita. Ilmuwan adalah mereka yang bercerita atas fenomena yang dialaminya. Ceritanya memiliki plot, bernama metode ilmiah. Dimulai dengan merumuskan masalah apa yang hendak ditelaah, lalu membuat dugaan-dugaan, lalu mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari struktur masalah tersebut bersama dugaan-dugaannya, mengajukan model-model yang menggambarkan struktur permasalahan tersebut, lalu menguji modelnya dengan percobaan, studi kasus, dan sebagainya. Dari percobaan yang berulang-ulang ia mengamati pola yang ditemukan. Akhirnya, ia kemudian mendongengkan hasil pekerjaannya tersebut dalam bentuk teori-teori. Itu yang dilakukan fisikawan, biolog, hingga sosiolog. Di kemudian hari, nanti ada wiracarita lain yang mungkin membantah ceritanya lengkap dengan bukti-bukti yang ada. Dengan demikian teori tersebut diuji kebenarannya. Demikian seterusnya hingga akhirnya sekarang kita sudah tahu cerita mana yang betul dan mana yang keliru. Inilah sains. Semua orang bebas bicara asal sesuai dengan bukti. Inilah teori yaitu cerita terstruktur berlandaskan metode atas fenomena.

Perbedaanya tentu hanya di obyek yang akhirnya tentu akan membedakan cara mendekati obyek. Jika fisika berbicara soal elektron, sosiologi berbicara soal manusia, jika kimia berbicara soal reaksi kimia, maka sosiologi berbicara soal interaksi antara manusia, dan jika biologi bicara konservasi alam, maka sosiologi berbicara soal kelanggengan sistem sosial.


Sederhana dan rumit!

Mana lebih mudah mempelajari sosiologi atau fisika? Ahli matematika dan filsafat kesohor, Bertrand Russel, pernah mengatakan bahwa ia tidak melanjutkan pendidikan ekonominya karena ia merasa ekonomi terlalu mudah. Ahli Fisika kesohor, Max Planck, pernah mengatakan bahwa ia takut bicara sosial dan ekonomi, karena ia merasa ilmu sosial dan ekonomi luar biasa sulitnya dibanding fisika.

Mana yang benar?
Anak-anak SMA akan menunjuk sosiologi sebagai ilmu yang lebih mudah. Ada pembagian yang mendasarinya dan mengujarkan sosiologi ilmu non-eksakta dan fisika ilmu yang eksakta. Ada prestise di kalangan calon mahasiswa untuk masuk ke jurusan eksakta di perguruan tinggi. Mengapa ada dua pendapat dari dua pakar matematika ini? Mengapa anak SMA cenderung lebih setuju dengan Russel dan jarang menyepakati Planck? Karena ilmu sosial, termasuk ekonomi seringkali diperlakukan orang seperti memperlakukan cerita komik. Anything can be true! Selesai dibaca ya sudah, bisa berbicara tentang isi cerita komik itu. Padahal, jika semua wiracarita sosiologi ketat memperlakukan sosiologi seperti wiracarita fisika, maka jelas keduanya tak saling lebih mudah pun tak lagi lebih sulit. Itu yang memotivasi pembentukan web ini.

Penajaman ilmu sosial adalah kunci mengatasi masalah sosial, sama seperti penajaman mekanika adalah kunci keberhasilan masalah fisika. Jika fisika Isaac Newton gagal menerangkan tentang benda berkecepatan cahaya, maka kita pikirkan konsep fisika baru yang bisa menerangkannya, alhasil, fisika relativistik. Demikian juga, jika ekonomi gagal menerangkan pengentasan krisis ekonomi, maka kita harus pikirkan konsep ekonomi baru yang bisa mengatasinya.
SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU: dimensi
Untuk mencegah kita terjebak dalam perangkap-perangkap teoretik, kita akan mencoba mendiskusikan dimensi-dimensi ilmu sosial. Pada dasarnya, dikenal empat jenis dimensi dalam pendekatan teori sosial.

1. Dimensi kognitif.
Dalam dimensi ini, ilmuwan sosial akan selalu berbicara mengenai teori sosial sebagai cara untuk membangun pengetahuan tentang dunia sosial. Di sini terletak epistemologi yang membangun berbagai metodologi penelitian sosial.
2. Dimensi afektif.
Merupakan sebuah kondisi di mana teori yang dibangun memuat pengalaman dan perasaan dari teoretisi yang bersangkutan. Dimensi ini mempengaruhi keinginan untuk mengetahui (to know) dan menjadi benar (to be right) – kedua hal ini bertitik berat kepada kejadian tertentu dan realitas eksternal.
3. Dimensi reflektif.
Di sini, teori sosial harus menjadi bagian dari dunia sebagaimana ia menjadi cara untuk memahami dunia. Dengan kata lain, teori sosial harus mencerminkan apa yang terjadi di luar sana dan apa yang terjadi pada kita sebagai salah satu elemen dari sistem sosial yang ada.
4. Dimensi normatif, yang memperluas dimensi ketiga.
Dalam dimensi ini, teori sosial sepantasnya memuat secara implisit ataupun eksplisit tentang bagaimana seharusnya dunia yang direfleksikannya itu. Keempat dimensi ini membangun seluruh pendekatan dalam proses kostruksi teori-teori sosial yang ada.
ASAL-MUASAL: negara, ekonomi, pemerintah, dan spekulasi tentangnya
Cerita tentang spekulasi masih terus, tapi tak lagi berbicara hal-hal di awang-awang. Para filsuf sosial mulai berbicara tentang hal-hal teknis dan bagaimana mengatur masyarakat dengan ilmu yang berdiri di atas spekulasi ini.
Karl Marx (1818-1883), filsuf sosial Jerman yang sangat terkenal itu menantang pandangan kapitalisme yang telah berhasil menjadi landasan struktur ekonomi. Dalam bukunya yang ditulis dalam 3 volume, ia menelaah apa yang tengah terjadi saat itu yang ditemuinya dalam kesehariannya. Ia dibantu sahabatnya, Frederic Engels (1820-1895), mereka berdua mendirikan sosialisme ilmiah, komunisme. Tak lagi berbicara ide-ide, berbicara soal dunia dewa-dewa, mereka membedah situasi masyarakat yang ada. Mereka melihat bagaimana kapitalisme gagal dan banyak membuat orang sengsara. Filsafatnya berusaha membumi. Namun bagaimana akibatnya? Jika Smith berusaha memisahkan ekonomi politik dengan politik negara, Marx dan Engels menggabungkan keduanya. Penting bagi mereka untuk melihat persaingan, kompetisi, sebagai hal yang mesti dicampuri. Keadilan tak diperoleh dengan membebaskan penguasa ekonomi menjadi lebih kuat dari penguasa politik. Ilmu politik mereka bersandar pada ekonomi dan pandangan materialisme yang melihat secara nyata keadaan sekitar, mereka mencoba meramal, suatu saat akan ada perubahan sosial yang dahsyat yang mengganggu ekonomi yang berlandaskan kapitalisme. Teorinya adalah tentang teori perjuangan kelas ekonomi: kelas ekonomi lemah dan kelas ekonomi kuat. Ekonomi lemah akan melakukan perjuangan perubahan nasib atas penindasan ekonomi kuat. Semuanya bersifat teoretis dan keilmuan bagi mereka, meski tetap dipengaruhi oleh berbagai spekulasi pendahulu mereka. Namun nasib pandangan keduanya yang ingin membentuk teori ilmiah menjadi lain saat bertemu dengan kondisi praktis dari politik. Jauh setelah mereka meninggal dunia, dunia terbelah dua, komunis versus kapitalis. Keduanya berevolusi dengan permainan politik yang implementatif dan praktis yang jauh dari perkiraan sebelumnya. Politikus "mempermainkan" teori-teori mereka sedemikian untuk mempercepat revolusi, taktis, strategis, dan sudah tak lagi menjadi ilmiah, karena buku Marx menjadi kultus. Sistem ekonomi negara komunis dipusatkan pada pemerintah. Setiap hari menjadi revolusioner, terjadi keresahan, hingga negara-negara komunis runtuh di kemudian hari.
Bagaimana nasib sosiologi? Di beberapa negara komunis ilmu politik dan ideologi menguasai sosiologi. sangat sedikit perkembangan sosiologi di negeri komunis yang memang berkecenderungan menjadi diktator bahkan fasis. Sosiologi masih berkembang. Ia malah belajar banyak dari kemelut dan krisis sosial yang ada.
Pada zaman yang tak begitu jauh dari Marx, Alexis de Tocqueville (1805-1859), ilmuwan politik sekaligus bangsawan Perancis, menulis buku tentang demokrasi. Sedikit ia berbicara soal ekonomi. Ia mempelajari cara berpolitik orang Amerika Serikat. Tocqueville mencatat dan secara sederhana menganalisis politik Amerika, mengapa? Karena baginya, situasi di Amerikalah satu-satunya tempat di dunia di mana pikiran-pikiran sosiologis yang tadinya berkembang di Eropa diuji secara bebas dalam masyarakat. Salah satu kesimpulannya tentang demokrasi yang sangat menarik adalah keyakinannya bahwa pendapat publik juga dapat berubah menjadi tirani yang juga menindas masyarakat, tak berbeda dengan tirani pada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seoarang raja yang diktator.
Lain lagi di Inggris, filsuf John Stuart Mill (1806-1873), banyak berbicara dan menyumbangkan pikiran dalam bidang ilmu politik ekonomi, logika, dan etika. Dalam tradisi dan aliran filsafat, Mill dikenal memiliki karakter pemikiran yang sangat dipengaruhi oleh empirisisme di Inggris yang terpengaruh oleh filsuf David Hume (1711-1776) dan utilitarianisme Jeremy Bentham (1748-1832), filsuf Inggris lainnya.
Dalam kajian filsafat, secara sederhana, empirisisme merupakan doktrin filsafat yang menekankan bahwa semua pengetahuan harus disandarkan pada pengalaman, dan menolak kemungkinan munculnya gagasan yang muncul tiba-tiba tanpa proses mengalami. Di sisi lain, utilitarianisme merupakan doktrin etika yang menunjukkan bahwa apa-apa yang baik adalah apa-apa yang memiliki kegunaan, dan nilai etis dari setiap tindakan dilihat dari kegunaan yang diperoleh sebagai hasil dari tindakan tersebut. Kedua pemikiran inilah yang menjadi tempat berpijak sosiologi primitif dari Mill.
Pemikiran Mill yang patut dicatat adalah tentang kebebasan individual dan bahwa kebijakan apapun dari pemerintah tidak boleh bertentangan dengan kebebasan individu. Agak mirip dengan Tocqueville, Mill menekankan bahwa kebebasan individual dapat terancam baik oleh pendapat sosial maupun oleh tirani politik. Secara praktis, Mill juga memiliki beberapa pendapat soiologis yang menarik, seperti kepemilikan sumber daya alam oleh individu, kesamaan antara laki-laki dan perempuan (kesetaraan gender), pentingnya pendidikan, dan keluarga berencana

MERETAS JALAN SOSIOLOGI

MERETAS JALAN SOSIOLOGI: fungsionalisme
Sebuah pemerintahan negara biasanya memiliki sebuah lembaga informal yang mengumpulkan diskusi di antara berbagai macam ahli dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari teologi, fisika, kimia, biologi, sosiologi, kriminologi, antropologi, ekonomi, aktivis LSM, dan sebagainya. Bagaimana kira-kira diskusi mereka jika ada sebuah isu yang dilemparkan ke mereka sebagai titik tolak kebijakan yang dilakukan pemerintahnya? Bisa kita bayangkan bahwa dari satu isu kecil, maka berbagai macam perdebatan bisa muncul di sana. Masing-masing berbicara dari sudut pandang masing-masing, karena mereka memang memiliki fungsi yang berbeda dalam masyarakat, demikian pula hasil pengamatan mereka dan pendapat mereka. Fungsi-fungsi apa yang membentuk struktur masyarakat? Bagaimana jika salah satu atau beberapa fungsi tersebut lumpuh? Coba bayangkan tubuh manusia yang ginjalnya sakit, atau kakinya terkilir, giginya berlubang, atau bibirnya terkena sariawan. Maka tubuhnya akan runtuh, jatuh dan tak mampu lagi beraktivitas sebagaimana biasa. Seluruh tubuh rasanya sakit, mendengar suara berisik sedikit saja kemarahan meledak, kepala nyut-nyut-nyut, padahal sebenarnya hanya karena gigi yang sakit. Fungsionalisme melihat sistem sosial ibarat tubuh, yang jika satu bagian sakit, maka seluruh anggota tubuh lain harus diupayakan menyembuhkannya, agar ia dapat beraktivitas seperti biasa.
Emile Durkheim (1858-1917), sosiolog Perancis yang pikirannya sangat dipengaruhi oleh Auguste Comte, merupakan sosiolog yang sangat mendambakan pendekatan ilmiah dalam memahami fenomena sosial. Teorinya berawal dari pemahaman bahwa kelompok manusia memiliki sifat yang lebih dari atau sama dengan jumlah dari sifat-sifat individual yang menyusun kelompok tersebut. Dari sini ia menerangkan banyak hal, bahwa sistem sosial seimbang oleh karena adanya nilai-nilai yang dianut bersama oleh individu, seperti nilai moral dan agama. Inilah yang mengikat individu dalam kelompok masyarakat. Rusaknya nilai-nilai ini berarti rusaknya kesetimbangan sosial; melalui ketidaknyamanan pada individu-individu masyarakatnya. Contohnya yang terkenal adalah kasus bunuh diri. Menurutnya, orang bunuh diri karena hilangnya rasa memiliki dan dimiliki orang tersebut dalam masyarakat.
Secara ekstrim, fungsionalis berfikir bahwa masyarakat pada awalnya disusun oleh individu yang ingin memenuhi kebutuhan biologisnya secara bersama, namun pada akhirnya berkembang menjadi kebutuhan-kebutuhan sosial. Kelanggengan kolektif ini membentuk nilai masyarakat, dan nilai inilah yang membuat masyarakat tetap seimbang.
Sosiolog Amerika Serikat, Talcott Parsons (1902-1979), diklaim sebagai seorang fungsionalis. Teorinya didasarkan pada mekanisme sosial dalam masyarakat dan prinsip-prinsip organisasi di dalamnya. Pengembangan ini disebut juga struktural-fungsionalisme. Dalam pandangan ini, masyarakat tersusun atas bagian-bagian seperti misalnya rumah sakit, sekolah, pertanian, dan seterusnya yang terbagi berdasarkan fungsinya.
Secara ringkas, fungsionalis melihat masyarakat ibarat sebuah organisme, makhluk hidup yang bisa sehat atau sakit. Ia sehat jika bagian-bagian dari dirinya (kelompok fungsional, individu) memiliki kebersamaan satu sama lain. Jika ada bagiannya yang tidak lagi menyatu secara kolektif, maka kesehatan dari masyarakat tersebut terancam, atau sakit. Dalam hal ini hukuman/sanksi sosial terhadap penjahat dapat dipandang sebagai cara untuk mencegah sakitnya sistem sosial.
Salah seorang fungsionalis Amerika yang lain, Robert K. Merton (1911-2003) menggunakan terminologi fungsionalisme taraf menengah. Secara teoretis, Merton memiliki perspektif yang sama dengan sosiolog fungsionalisme pendahulunya, namun yang menjadi sorotan utamanya adalah pengembangan teori sosial taraf menengah. Dalam pengertian Merton, teori taraf menengah adalah teori yang terletak di antara hipotesis kerja yang kecil tetapi perlu, yangberkembang semakin besar dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup semuanya untuk mengembangkan suatu teori terpadu yang akan menjelaskan semua keseragaman yang diamati dalam perilaku sosial, organisasi sosial, dan perubahan sosial. Hal ini adalah responnya terhadap semangat Parsons yang hingga akhir hidupnya ingin menyelesaikan teori tunggal tentang sistem sosial (grand unified social theory).
Menurut Merton, teoretisi sosial dalam pengamatannya harus membedakan antara motif dan fungsi sosial. Motif sosial itu lebih bersifat pribadi daripada fungsi sosial itu sendiri. Misalnya, dalam sebuah masyarakat terdapat doktrin yang mengandung fungsi sosial untuk mempertahankan komunitas tersebut, yaitu mempunyai anak. Jika seseorang melahirkan anak, kebahagiaan orang tersebut dan keluarganya lebih kepada motif pribadi, cinta kasih, penyesuaian diri dengan kondisi sosial, dan sebagainya lebih daripada fungsi sosialnya yaitu untuk mempertahankan komunitas. Dalam hal ini, perlu dibedakan dua fungsi sosial, yaitu fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes adalah fungsi yang diketahui dan dimafhumi oleh individu-individu dalam sistem sosial tersebut, sementara fungsi laten adalah fungsi yang tak diketahui. Hal ini menjelaskan tentang terjadinya pola-pola konsekuensi disfungsional dari tindakan individu dalam masyarakat. Disfungsional maksudnya konsekuensi yang justru memperkecil kemampuan bertahannya masyarakat tersebut. Contoh yang menarik untuk ini adalah berkembangnya sekte agama atau suku tertentu; jelas sekali fungsi manifes yang terkandung dari ajaran atau doktrin yang ada dalam agama atau suku tersebut adalah untuk membangun solidaritas sesama manusia dalam kelompok tersebut. Namun di sana terdapat fungsi laten, yaitu fanatisme kelompok yang besar, yang bisa memunculkan disfungsi konsekuensi, perang atau teror antar kelompok agama atau suku yang justru sangat berbeda maksudnya dengan fungsi manifesnya, yaitu membangun solidaritas sesama manusia dalam kelompok yang lebih besar.
MERETAS JALAN SOSIOLOGI: pertukaran sosial
Kalau kita berteman dengan seseorang, mungkinkah kita tidak mengharapkan sesuatu apapun darinya? Kita ingin dia membantu kita dalam kesusahan, mendengar dan memberi nasihat tatkala kita membutuhkan, menghibur tatkala lagi be-te, dan seterusnya. Mengapa hal ini terjadi? Karena memang persahabatan juga membutuhkan biaya, dan setelah biaya itu dibayarkan dalam persahabatan tentu kita membutuhkan imbalan dari biaya tersebut.
Hal-hal individualistik seperti ini yang menjadi dasar pijak teori pertukaran sosial, sebuah teori sosial yang bersandar pada perilaku antar individu. Teori ini dicoba distrukturkan oleh sosiolog Inggris, George Homans (1910-1989), yang saat itu berseteru secara teoretis dengan antropolog Perancis, Claude Levi-Strauss. Levi-Strauss banyak berkecimpung dalam penelitian masyarakat primitif, dan menurutnya pertukaran sosial adalah hal yang paling bisa menggambarkan motif interaksi antara manusia secara primitif. Hal ini diamatinya mulai dari proses pernikahan dan sistem kerabatan masyarakat primitif. Ia menunjukkan bagaimana pertukaran dalam sistem sosial dapat berupa pertukaran terbatas (restricted exchange) dan pertukaran diperluas (generalized exchange).
Pertukaran terbatas ada di antara dua orang (dyad) secara langsung, digambarkan:
A <-> B, C <-> D, dan seterusnya.
Pertukaran diperluas ditemukan dengan melibatkan banyak orang (triadik dan seterusnya), misalnya interaksi:
A -> B -> C -> A, dan seterusnya.
Sebagai contoh, Levi-Strauss menunjukkan bahwa pola di mana seseorang mengawini putri saudara ibunya menyumbangkan tingkat solidaritas sosial yang lebih tinggi daripada pola lain di mana seeorang mengawini putri saudara bapaknya. Menurutnya, hal ini terjadi karena pola perkawinan terdahulu, yaitu perkawinan putri saudara ibu lebih sering terjadi dalam masyarkat primitif daripada pola kedua. Hal ini dijelaskannya secara detail melalui model pertukaran terbatas dan pertukaran diperluas.
Homans, mengajukan tiga konsep yang berbeda untuk menjelaskan pertukaran sosial, yaitu:
1. aktivitas, sebagai perilaku aktual yang digambarkan secara konkrit
2. interaksi, sebagai kegiatan yang mendorong atau didorong oleh kegiatan orang lain
3. sentimen, sebagai kegiatan yang dilakukan atas prakiraan subyektif dan akal sehat individu
Dari konsep ini ia bergerak lebih jauh untuk menerangkan bagaimana konsep biaya dan imbalan dalam struktur sosial.
Sosiolog Amerika Peter Blau, mengembangkan teori pertukaran yang lebih komprehensif, yaitu analisis pertukaran antar individu dalam organisasi yang kompleks; bagaimana pertukaran di tingkat MIKRO sebagaimana yang diterangkan oleh Homans dalam kebrojolan organisasi sosial yang besar di tingkat MAKRO. Pertukaran-pertukaran di tingkat individu ini membrojolkan institusi sosial, dan cara untuk mengamati pertukaran sosial di tingkat mikro adalah dengan menggunakan pendekatan-pendekatan psikologis individu seperti dukungan sosial, dan sebagainya. Ia banyak berbicara tentang bagaimana pertukaran yang tak seimbang menimbulkan dominasi sosial, strategi dalam pertukaran sosial, dan bagaimana sebuah struktur kekuasaan menjadi stabil dan seimbang.
MERETAS JALAN SOSIOLOGI: strukturasi
Anthony Giddens, sosiolog Inggris mengembangkan apa yang disebutnya sebagai sosiologi sehari-hari. Sosiologi didasarkan pada pemahamannya atas STRUKTURASI dalam sistem sosial. Teori ini ditawarkan dalam kerangkan membahas pertanyaan-pertanyaan seperti apakah agen manusia atau kekuatan sosial yang besarkah yang membentuk masyarakat - bagaimana interaksi MIKROSTRUKTUR dengan MAKROSTRUKTURnya. Teori strukturasi menunjukkan bahwa agen manusia secara kontinu mereproduksi struktur sosial - artinya individu dapat melakukan perubahan atas struktur sosial
MERETAS JALAN SOSIOLOGI
MERETAS JALAN SOSIOLOGI: interaksionisme simbol
Di dekat sebuah warkop, tiga ekor anjing sedang berkelahi. Anjing yang satu mulai menggertak dengan menggeram, menunjukkan deretan giginya, dan mulai mengambil ancang-ancang untuk menyergap lawannya. Anjing kedua ketakutan, lalu lari tunggang langgang karena tubuhnya memang paling kecil, sementara anjing ketiga menanggapi yang pertama dengan juga menggeram dan menunjukkan giginya, siap untuk balas menyerang. Anjing pertama setelah melihat reaksi anjing ketiga akan menunjukkan perubahan diri, ia memperkeras geramannya. Hal ini mengundang respon anjing ketiga tersebut, dan seterusnya.
Dua mahasiswa yang sedang duduk di warkop tersebut melihat anjing yang berkelahi itu, tadinya sedang bertukar cerita tentang orang tua masing-masing. Anak pertama berseru melihat anjing yang hendak berkelahi itu, dan membelokkan pembicaraan menjadi tentang anjingnya yang dua tahun lalu hilang. Ternyata anak kedua tak menyukai topik pembicaraan itu, ia memberi respon dengan melihat ke langit-langit, sesekali melihat jam tangannya, dan seterusnya.
Perilaku tiga anjing dan dua mahasiswa itu merupakan ikhwal bahasa isyarat. Menunjukkan gigi sambil menggeram, lari tunggang langgang, melihat langit-langit dan jam tangan, dan seterusnya merupakan bahasa isyarat, masing-masing kemarahan, rasa takut, dan kebosanan. Ini adalah inti dari teori interaksionisme simbol yang didirikan oleh sosiolog Amerika, George Herbert Mead (1863-1931), yang juga dikenal sebagai seorang sosiolog pragmatis, karena ia berkeyakinan bahwa semua teori sosial yang ada harus dapat diuji secara praktis, termasuk semua hal tentang kebenaran, pengetahuan, moralitas, dan politik. Interaksionisme simbol merupakan teori yang dicanangkannya sebagai studi perilaku individu dan atau kelompok kecil masyarakat melalui serangkaian pengamatan dan deskripsi. Metode ini berlandaskan pada pengamatan atas apa yang diekspresikan orang meliputi penampilannya, gerak-geriknya, dan bahasa simbolik yang muncul dalam situasi sosial. Jadi sangat berbeda dengan pendekatan yang terinspirasi dari Marxisme yang ingin mempelajari seluruh sistem ekonomi dan politik, para interaksionis mengambil cara pandang akan masyarakat dari bawah, sebagaimana situasi yang diciptakan oleh individu-individu tersebut.
Dengan pendekatan ini Mead dikenal juga sebagai seorang psikolog sosial, karena memang pada akhirnya ia banyak berbicara tentang proses berfikir, konsep diri dalam organisasi sosial, dan pola-pola pengambilan peran orang lain sebagai dasar organisasi sosial.
Kontribusi untuk teori sosial ini juga dilakukan oleh Charles Horton Cooley (1864-1929), seorang sosiolog Amerika yang pernah dekat dengan Mead. Cooley membangun teori relasi sosial yang tak bertitik berat pada kondisi individual (MIKRO) maupun sosial (MAKRO), dengan meyakini bahwa kedua hal itu tak bisa dipisah-pisahkan. Cooley banyak berbicara tentang konsep diri (disebutnya konsep melihat diri di kaca), sifat-sifat manusia, kelompok primer dalam pembentukan sifat manusia, interaksi antara pemimpin politik dan massanya, dan pentingnya arti sosial dalam nilai keuangan. Dalam beberapa hal, Cooley menunjukkan dilema yang dihadapi antara hal-hal yang menjadi warisan biologis dan hal-hal yang menjadi warisan lingkungan sosial.
Hal menarik yang ditunjukkan oleh Cooley adalah perumpamaannya yang mengatakan bahwa sebuah kapal yang dibangun oleh seratus orang yang berbeda, sangat berbeda dengan seratus kapal yang masing-masing dibangun oleh satu orang untuk menjelaskan terjadinya pandangan umum dalam masyarakat yang dibentuk oleh pandangan-pandangan umum yang dimiliki oleh tiap individu yang membangun masyarakat. Pandangan umum MEMBROJOL (emergent) dari pandangan-pandangan individual. Inilah yang menjadi pusat kajiannya.
Di sisi lain, William I. Thomas (1863-1947), juga sosiolog interaksionis Amerika, memusatkan teorinya atas sifat saling ketergantungan organis antar individu dan lingkungan sosialnya dengan metoda yang hampir dapat dikatakan sama dengan metode Mead dan Cooley. Misalnya, Thomas berusaha mengidentifikasi faktor-faktor psikologis dan biologis yang dibawa sejak lahir dan menjelaskan perilaku manusia itu; ia menyimpulkan ada empat hal dasar keinginan manusia, yaitu
(1) keinginan untuk pengalaman baru
(2) keinginan untuk dihargai
(3) keinginan untuk menguasai
(4) keinginan untuk merasa aman
Thomas yakin bahwa perilaku manusia tidak dapat dimengerti dengan baik semata sebagai respon reflektif dari stimulus lingkungan. Ia percaya bahwa ada definisi subyektif yang penting yang ada di antara stimulus dan respon.
Interaksionisme simbol Mead-Cooley-Thomas ini mendapat sambutan dari banyak sosiolog Amerika bahkan hingga kini.
Manford Kuhn (1904-1968), sosiolog yang ingin menstrukturkan metodologi empiris dalam interaksionisme simbol, menyatakan bahwa perlu beberapa perspektif teoretis yang sifatnya terbatas yang tergabung dalam interaksionisme, yaitu teori peran, teori kelompok referens, perspektif persepsi sosial dan persepsi pribadi, teori diri, dan teori dramaturgi. Intinya, Kuhn ingin membuat strategi pengukuran empiris atas konsep-konsep interaksionisme simbol tersebut. Kontribusinya yang terkenal adalah 20-UJI-PERNYATAAN untuk mengukur analisis diri; isinya adalah 20 respon yang diminta dari orang terhadap pertanyaan "Siapakah saya?".
Hal ini ditentang oleh seorang murid Mead, Herbert Blumer (1900-1987), dengan mengatakan bahwa metoda pengukuran empiris itu bertentangan dengan konsep BROJOLAN (emergence) dari kenyataan sosial. Bagi Blumer, brojolan itu lahir dari aksi dan interaksi, dan segala upaya yang ingin mengukur konsep diri tanpa memperhitungkan aksi dan interaksi berakibat fatal dan gagal dalam mengukur konsep diri dalam sistem sosial. Bagi Blumer, kenyataan sosial dan strukturnya pada dasarnya tak pernah tetap melainkan terus memiliki dinamika oleh karena interaksi antar individu tak pernah berhenti. Segi-segi struktural seperti budaya, sistem sosial, stratifikasi sosial, atau peran sosial MEMBENTUK tindakan individu, tapi TIDAK MENENTUKAN tindakan mereka. Orang yang bermain sebagai penjaga gawang dalam permainan sepak bola TERBENTUK perilakunya dalam pertandingan sepak bola, tapi TIDAK MENENTUKAN bagaimana ia harus bertindak saat gawangnya terancam serangan lawan.
Seorang sosiolog interaksionis lain, Erving Goffman (1922-1983), menitikberatkan teorinya pada konsep dramaturgi. Ia menganalisis berbagai strategi individu dalam meraup kepercayaan sosial melalui konsep-konsep teater, seperti manajemen kesan dan sebagainya. Misalnya, ia menganalisis bagaimana orang cenderung untuk saling menutupi kesalahan dengan teman, atau minimal berpura-pura tidak tahu dan tidak memperhatikan kesalahan teman, dan seterusnya. Pendeknya, baginya sosiologi adalah upaya membedah interaksi antar individu atau kelompok kecil dengan audiensnya, yaitu sistem sosial secara keseluruhan. Lebih jauh ia juga banyak berbicara tentang dasar kontekstual interaksi sosial seperti PEMAHAMAN BERSAMA sebagai KERANGKA di mana peristiwa-peristiwa sosial terjadi. Pendeknya dengan memperhatikan simbol-simbol yang digunakan oleh individu dalam interaksi sosial, interaksionis berkeinginan untuk mencari keterhubungan antara BROJOLAN yang terjadi dari tingkat MIKROSOSIAL ke MAKROSOSIAL secara komprehensif
MERETAS JALAN SOSIOLOGI: set-back posmodernisme
Jika kita membicarakan sosiologi dan sejarah yang melahirkannya, seringkali kita terjebak pada diskusi filsafat dan metafisika yang menjadi dasar transendental lahirnya sebuah teori sosiologis. Ini tak terjadi pada bidang ilmu alam, karena memang ilmu alam memiliki seperangkat piranti empiris yang segera dapat menguji keabsahan sebuah teori. Sistem sosial sangat berbeda dengan sistem di alam, karena ia sangat dekat dengan manusia dan kehidupan sosialnya, obyek sains yang sangat tinggi derajat kebebasan ruang pengalamannya.
Pengalaman ini dialami oleh alam filosofis yang dikenal dengan posmodernisme. Pada awalnya, posmodernisme adalah sebuah terminologi yang diungkapkan oleh sosiolog Perancis, Jean-François Lyotard (1924-1998). Lyotard pada awalnya tertarik pada studi-studi fenomenologi, dan filsafat paganisme. Ia berubah haluan dengan banyak berbicara tentang kondisi posmodernisme. Dalam paradigma Lyotard, kondisi posmodernisme adalah kondisi ketidakpercayaan sosial atas metanarasi. Metanarasi diartikan sebagai cerita atau teori keseluruhan tentang sejarah dan tujuan dari manusia yang menjadi dasar dan pengabsahan pengetahuan dan praktik budaya. Lyotard menggambarkan bagaimana situasi sosial setelah sekian lama dalam era modernisme (pasca pencerahan) dalam mengembangkan teknologi komputer, digitalisasi di mana-mana dan sebagainya dan mengkontraskannya dengan pendekatan filsafat sosial klasik seperti Hegel, Marx, dan seterusnya.
Belakangan, pendapat tentang posmodernisme yang seringkali memang bersandar pada studi linguistik Swiss, Ferdinand de Saussure (1857-1913), berkembang menjadi studi filsafat dan linguistik yang juga menghasilkan klaim-klaim dalam ilmu sosial. Inti pendekatan linguistik (disebut dengan istilah INTERTEKSTUALITAS) difahami sebagai rantai elemen bahasa yang bebas makna, karena satu kata ber-referensi atas kata lain, dan kata lain ber-referensi atas kata lain dan seterusnya dalam rantai yang luar biasa panjang. Hal ini memunculkan di antaranya filsuf sosial dan kritikus budaya Perancis yang sarat kontroversi, Jean Baudrillard, dua orang teoretisi Perancis, Gilles Deleuze dan Felix Guattari, teoretisi Frederic Jameson, dan sebagainya, dengan berbagai pendapat dan terminologi yang mengimpor istilah-istilah sains, khususnya fisika seperti teori chaos, dan sebagainya yang dianggap memelintir makna istilah tersebut dari makna aslinya di fisika. Mereka menggunakan banyak tradisi teori psikoanalisis Jaques Lacan yang seringkali pula menggunakan terminologi serupa. Hal ini dikritik dengan keras oleh fisikawan Alan Sokal, yang menunjukkan seringnya pemelintiran istilah-istilah fisika ini dalam literatur sosial dan bahkan tidak diakui sebagai sekadar metafora. Penggunaan istilah ini cenderung menjadi tren tersendiri dalam kritik budaya yang cenderung memperindah teks-teks yang ada namun cenderung miskin makna.
Hal inilah yang melahirkan apa yang disebut 'perang sains' antara kritikus budaya dan sekelompok fisikawan. Posmodernis atau juga akhirnya sering disebut pos-strukturalis cenderung tetap untuk ngotot dengan cara mereka. Para fisikawan tersebut di sisi lain tidak mau tahu dan menganggap hal ini sebagai bentuk impotensi dari ilmuwan sosial. Hal ini menjadi skandal dalam sains sosial, khususnya sains dan filsafat sosial Perancis abad ke-20.
Dalam 'perang sains' yang sangat merunyamkan pengembangan analitis sosiologi ini, beberapa ilmuwan mengembangkan MESIN DADA dengan menunjukkan bahwa filsuf-filsuf sosial tersebut memiliki semacam "ketakmampuan mental", dirancanglah sebuah perangkat lunak komputer yang menggambarkan cara menulis 'analisis' dengan pendekatan-pendekatan posmodern yang cenderung menggunakan metafora-metafora yang rumit yang diimpor dari berbagai teks ilmu alam, ilmu sosial klasik, sastra dan budaya pop, pembuatan terminologi dan istilah baru, namun pada dasarnya tidak menunjukkan analisis apapun. Kita tinggal memasukkan daftar pustaka, kata kunci, dan seterusnya untuk menghasilkan karya-karya yang tak jauh berbeda dengan karya filsuf sosial posmodernisme atau disertasi doktoral dalam studi posmodernisme (diuji cobakan secara praktis dan terbukti). Hal ini merupakan tantangan yang sangat berat bagi pengembangan ilmu sosial yang datang dari kekhilafan akan lemahnya kesinambungan antara metodologi dan konstruksi teoretis.
MERETAS JALAN SOSIOLOGI: obyek-obyek ekonomi
Bagaimanapun, hari ini ekonomi telah menjadi disiplin ilmu tersendiri yang berkenaan dengan analisis masyarakat dengan aspek-aspek khusus sebagai efek dari modernisme dan penggunaan yang sangat luas uang dan modal. Ekonomi sendiri bahkan menjadi sedemikian luas sehingga perlu mendapat kategorisasi atas berdasarkan obyek yang hendak menjadi fokus studinya, yaitu MAKROEKONOMI dan MIKROEKONOMI.
Ekonomi biasanya berbicara tentang akumulasi modal, alokasi sumber daya, masalah tenaga kerja, mata uang, bank, dan sebagainya yang telah berdiri sendiri sebagai kaisar yang sangat populer dalam urusan kemasyarakatan, pemerintahan, dan politik. Sejarah perkembangan ekonomi telah bersimpangan dengan sejarah perkembangan sosiologi sendiri. Pengembangan pasca Adam Smith telah sedemikian jauh dan terspesialisasi atas masalah-masalah seperti pengangguran, mobilitas regional, hingga ke motif-motif ekonomi. Tak jarang memang kebijakan ekonomi mengandung kebijakan-kebijakan politik dan sebaliknya. Tokoh ekonomi modern yang terkenal adalah John Maynard Keynes (1883-1946) yang selama depresi dunia 1930 menjelaskan siklus pasang surut ekonomi yang menggerogoti kapitalisme. Keynes dikenal dan menjadi inspirasi atas teorinya tentang ketenagakerjaan, interes, uang dan fluktuasi ekonomi.
Saat ini teori Keynes telah sangat banyak mendapat perubahan dengan pengembangan berbagai model matematika dan komputasi yang secara khusus membahas berbagai fenomena ekonomi.







Ribuan Anak Jalanan di Pakistan Mengaku Lebih Senang Hidup Menggelandang













Sekitar 25 ribu anak-anak di Pakistan, hidup di jalan di kota-kota besar di negara yang terletak di Asia Selatan itu. Anak-anak jalanan itu mengaku lebih senang hidup menggelandang daripada kembali ke rumah dengan berbagai alasan.
Rehan, misalnya, tidak tahu lagi di mana orang tuanya dan mengatakan tidak mau kembali ke rumah. "Tidak ada apapun buat saya, kecuali siksaan fisik dan mental" katanya memberi alasan mengapa ia tidak mau kembali ke keluarganya.
Rehan yang masih berusia 12 tahun itu mengaku lari dari rumah dan sudah dua tahun hidup di jalan di kawasan kota pelabuhan sebelah selatan Karachi.
"Ayah saya hanya menginginkan saya bekerja di sebuah bengkel motor, di bengkel itu saya mengalami beberapa kali pelecehan seksual, " tuturnya.
Untuk bertahan hidup, Rehan menjadi pemulung yang hasilnya ia jual ke pabrik daur ulang. Ia bekerja salama 14 jam setiap harinya, dengan pendapatan yang tidak tentu. "Kadang satu hari saya dapat 150 rupee (kurang dari 3 dollar), esok harinya cuma 100 rupee. Tidak tentu, " ujar Rehan.
Lain lagi dengan Umar Ali, 13, yang sudah menggelandang selama empat tahun. Ia kabur dari rumah karena tidak tahan dengan desakan orang tuanya agar ia segera mencari kerja. Ali tidak terlalu merisaukan bagaimana ia bisa makan, karena ia mencari uang agar bisa membeli obat-obatan terlarang.
"Banyak hotel-hotel kecil dan restoran yang memberikan kami makanan, jadi, makan bukan masalah bagi kami. Kami mencari uang bukan untuk hidup, tapi untuk membeli obat-obatan terlarang, " kata Ali.
Tapi bagi Azhar, 18, yang sudah hidup menggelandang sejak usia 10 tahun, sangat mudah mendapatkan obat-obatan terlarang itu. Ia mengaku sering diberi charas-semacam hashis buatan khas India dan Pakistan- dari para seniornya. Sebagai imbalannya, Azhar bersedia melakukan hubungan sex dengan seniornya itu.
Nasib Azhar, asal kota Korangi, kawasan kumuh di Karachi, memang suram. Kedua orang tuanya tewas dibunuh oleh kakak laki-lakinya. Sejak itu ia hidup di jalan dan mulai menghisap charas.
Rentan Jadi Korban Eksploitasi Seks
Menurut laporan Badan PBB yang membidangi masalah obat-obatan terlarang dan kejahatan di kalangan anak-anak (UNODC), 72 persen anak-anak jalanan tidak mau berhubungan dengan keluarganya meski mereka tahu di mana keluarganya berada.
Mereka biasanya berasal dari keluarga-keluarga miskin, tidur di jalan-jalan dan tempat-tempat parkir setelah seharian bekerja atau menjadi tukang minta-minta.
Para sosiolog mengatakan, anak-anak itu memilih hidup di jalan sebagai akibat dari kondisi sosial yang kacau, kekerasan dalam rumah tangga dan keluarga yang berantakan.
"Urbanisasi dan penurunan kualitas lingkungan telah menyebabkan perpindahan manusia dari daerah pedalaman ke kota-kota. Situasi ini menimbulkan tekanan sosial dan terpecah belahnya struktur kekeluargaan. Hal inilah yang memicu makin meningkatnya anak-anak jalanan, " papar Profesor Fateh Muhammad, dari fakultas sosiologi Universitas Karachi.
Dr Tariq Muhammad dari Jinnah Postgraduate Medical Center mengingatkan bahwa anak-anak jalanan rentan akan perlakuan penyimpangan seks.
Hal tersebut diakui Aqsa Navi dari Azad Foundation. "Mereka ada yang tidak mau bekerja, kebanyakan menjadi tukang copet atau menjadi penjaja seks untuk bertahan hidup, " ujarnya.
Azad Foundation memperkirakan, sekitar 14 ribu anak jalanan yang ada di Karachi, setengahnya menjadi korban eksploitasi sex. Anak-anak itu banyak yang terkena penyakit menular akibat hubungan sex menyimpang.
Anak-anak jalanan di Pakistan tidak menampik hal itu. Mereka mengaku ketakutan jika malam tiba. Karena pada saat itulah mereka kadang menjadi korban penyimpangan seks para sopir taxi bahkan aparat polisi. "Kadang saya bisa menyelamatkan diri, kadang tidak, " kata seorang anak jalanan. (ln/iol)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 31 Mei 2008

Matinya Ilmu Administrasi dan Manajemen
(Satu Sebab Krisis Indonesia)
Oleh Qinimain Zain

FEELING IS BELIEVING. C(OMPETENCY) = I(nstrument) . s(cience). m(otivation of Maslow-Zain) (Hukum XV Total Qinimain Zain).

INDONESIA, sejak ambruk krisis Mei 1998 kehidupan ekonomi masyarakat terasa tetap buruk saja. Lalu, mengapa demikian sulit memahami dan mengatasi krisis ini?

Sebab suatu masalah selalu kompleks, namun selalu ada beberapa akar masalah utamanya. Dan, saya merumuskan (2000) bahwa kemampuan usaha seseorang dan organisasi (juga perusahaan, departemen, dan sebuah negara) memahami dan mengatasi krisis apa pun adalah paduan kualitas nilai relatif dari motivasi, alat (teknologi) dan (sistem) ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Di sini, hanya menyoroti salah satunya, yaitu ilmu pengetahuan, system ilmu pengetahuan. Pokok bahasan itu demikian penting, yang dapat diketahui dalam pembicaraan apa pun, selalu dikatakan dan ditekankan dalam berbagai forum atau kesempatan membahas apa pun bahwa untuk mengelola apa pun agar baik dan obyektif harus berdasar pada sebuah sistem, sistem ilmu pengetahuan. Baik untuk usaha khusus bidang pertanian, manufaktur, teknik, keuangan, pemasaran, pelayanan, komputerisasi, penelitian, sumber daya manusia dan kreativitas, atau lebih luas bidang hukum, ekonomi, politik, budaya, pertahanan, keamanan dan pendidikan. Kemudian, apa definisi sesungguhnya sebuah sistem, sistem ilmu pengetahuan itu? Menjawabnya mau tidak mau menelusur arti ilmu pengetahuan itu sendiri.

Ilmu pengetahuan atau science berasal dari kata Latin scientia berarti pengetahuan, berasal dari kata kerja scire artinya mempelajari atau mengetahui (to learn, to know). Sampai abad XVII, kata science diartikan sebagai apa saja yang harus dipelajari oleh seseorang misalnya menjahit atau menunggang kuda. Kemudian, setelah abad XVII, pengertian diperhalus mengacu pada segenap pengetahuan yang teratur (systematic knowledge). Kemudian dari pengertian science sebagai segenap pengetahuan yang teratur lahir cakupan sebagai ilmu eksakta atau alami (natural science) (The Liang Gie, 2001), sedang (ilmu) pengetahuan sosial paradigma lama krisis karena belum memenuhi syarat ilmiah sebuah ilmu pengetahuan. Dan, bukti nyata masalah, ini kutipan beberapa buku pegangan belajar dan mengajar universitas besar (yang malah dicetak berulang-ulang):

Contoh, “umumnya dan terutama dalam ilmu-ilmu eksakta dianggap bahwa ilmu pengetahuan disusun dan diatur sekitar hukum-hukum umum yang telah dibuktikan kebenarannya secara empiris (berdasarkan pengalaman). Menemukan hukum-hukum ilmiah inilah yang merupakan tujuan dari penelitian ilmiah. Kalau definisi yang tersebut di atas dipakai sebagai patokan, maka ilmu politik serta ilmu-ilmu sosial lainnya tidak atau belum memenuhi syarat, oleh karena sampai sekarang belum menemukan hukum-hukum ilmiah itu” (Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1982:4, PT Gramedia, cetakan VII, Jakarta). Juga, “diskusi secara tertulis dalam bidang manajemen, baru dimulai tahun 1900. Sebelumnya, hampir dapat dikatakan belum ada kupasan-kupasan secara tertulis dibidang manajemen. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa manajemen sebagai bidang ilmu pengetahuan, merupakan suatu ilmu pengetahuan yang masih muda. Keadaan demikian ini menyebabkan masih ada orang yang segan mengakuinya sebagai ilmu pengetahuan” (M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, 2005:19, Gajah Mada University Press, cetakan kedelapan belas, Yogyakarta).
Kemudian, “ilmu pengetahuan memiliki beberapa tahap perkembangannya yaitu tahap klasifikasi, lalu tahap komparasi dan kemudian tahap kuantifikasi. Tahap Kuantifikasi, yaitu tahap di mana ilmu pengetahuan tersebut dalam tahap memperhitungkan kematangannya. Dalam tahap ini sudah dapat diukur keberadaannya baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Hanya saja ilmu-ilmu sosial umumnya terbelakang relatif dan sulit diukur dibanding dengan ilmu-ilmu eksakta, karena sampai saat ini baru sosiologi yang mengukuhkan keberadaannya ada tahap ini” (Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, 2005:18-19, PT Refika Aditama, cetakan ketiga, Bandung).

Lebih jauh, Sondang P. Siagian dalam Filsafat Administrasi (1990:23-25, cetakan ke-21, Jakarta), sangat jelas menggambarkan fenomena ini dalam tahap perkembangan (pertama sampai empat) ilmu administrasi dan manajemen, yang disempurnakan dengan (r)evolusi paradigma TOTAL QINIMAIN ZAINn (TQZ): The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority, TQZ Administration and Management Scientific System of Science (2000): Pertama, TQO Tahap Survival (1886-1930). Lahirnya ilmu administrasi dan manajemen karena tahun itu lahir gerakan manajemen ilmiah. Para ahli menspesialisasikan diri bidang ini berjuang diakui sebagai cabang ilmu pengetahuan. Kedua, TQC Tahap Consolidation (1930-1945). Tahap ini dilakukan penyempurnaan prinsip sehingga kebenarannya tidak terbantah. Gelar sarjana bidang ini diberikan lembaga pendidikan tinggi. Ketiga, TQS Tahap Human Relation (1945-1959). Tahap ini dirumuskan prinsip yang teruji kebenarannya, perhatian beralih pada faktor manusia serta hubungan formal dan informal di tingkat organisasi. Keempat, TQI Tahap Behavioral (1959-2000). Tahap ini peran tingkah-laku manusia mencapai tujuan menentukan dan penelitian dipusatkan dalam hal kerja. Kemudian, Sondang P. Siagian menduga, tahap ini berakhir dan ilmu administrasi dan manajemen akan memasuki tahap matematika, didasarkan gejala penemuan alat modern komputer dalam pengolahan data. (Yang ternyata benar dan saya penuhi, meski penekanan pada sistem ilmiah ilmu pengetahuan, bukan komputer). Kelima, TQT Tahap Scientific System (2000-Sekarang). Tahap setelah tercapai ilmu sosial (tercakup pula administrasi dan manajemen) secara sistem ilmiah dengan ditetapkan kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukumnya, (sehingga ilmu pengetahuan sosial sejajar dengan ilmu pengetahuan eksakta). (Contoh, dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru milenium III, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas dan D(ay) atau Hari Kerja - sistem ZQD, padanan m(eter), k(ilogram) dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta - sistem mks. Paradigma (ilmu) pengetahuan sosial lama hanya ada skala Rensis A Likert, itu pun tanpa satuan). (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).

Bandingkan, fenomena serupa juga terjadi saat (ilmu) pengetahuan eksakta krisis paradigma. Lihat keluhan Nicolas Copernicus dalam The Copernican Revolution (1957:138), Albert Einstein dalam Albert Einstein: Philosopher-Scientist (1949:45), atau Wolfgang Pauli dalam A Memorial Volume to Wolfgang Pauli (1960:22, 25-26).
Inilah salah satu akar masalah krisis Indonesia (juga seluruh manusia untuk memahami kehidupan dan semesta). Paradigma lama (ilmu) pengetahuan sosial mengalami krisis (matinya ilmu administrasi dan manajemen). Artiya, adalah tidak mungkin seseorang dan organisasi (termasuk perusahaan, departemen, dan sebuah negara) pun mampu memahami, mengatasi, dan menjelaskan sebuah fenomena krisis usaha apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistem-(ilmu pengetahuan)nya.

PEKERJAAN dengan tangan telanjang maupun dengan nalar, jika dibiarkan tanpa alat bantu, membuat manusia tidak bisa berbuat banyak (Francis Bacon).

BAGAIMANA strategi Anda?

*) Ahli strategi, tinggal di Banjarbaru, email: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com).

THANK you very much for Dr Heidi Prozesky – SASA (South African Sociological Association) secretary about Total Qinimain Zain: The New Paradigm - The (R)Evolution of Social Science for the Higher Education and Science Studies sessions of the SASA Conference 2008.